Senin, 23 Januari 2012

Perubahan Itu Indah

Diposting oleh nuratnamukti di 20.52

Pukul 08.00 waktu jam tangan ku. Ku langkahkan kakiku menuruni tangga kecil dari dalam bis menuju ke aspal hitam di kota impianku. Kuucapkan terima kasih pada bus yang aku tumpangi selama kira-kira 4-5 jam lamanya. Tentunya dalam hati, tak mungkin lah aku mengucapkan terima kasih pada benda mati, apalagi bus ekonomi yang tua ini. Nanti banyak orang berfikir aku lebay, bahkan gila. Oh, tidak!
Tersenyum bangga aku ketika melangkahkan kakiku di sini. Di tempat pemberhentian bis di kota harapanku ini. Kota yang akan ku tinggali selama beberapa tahun ke depan nantinya. Kota dimana aku akan menuntut ilmu, menimba segala pengetahuan, menggali seluruh pengalaman, dan merajut semua harapan, impian, mimpi-mimpi, asa dan cita-cita. Kota yang berperan sebagai pintu gerbang keberhasilanku nanti. Welcome to Semarang.
Aku bangga, karena akhirnya aku bisa sampai di sini dengan selamat. Walaupun pada awalnya banyak yang meragukanku.
“Udah deh Medina, ibu temenin ya..” bujuk ibu.
“Nggak usah lah bu.. Ibu kan udah nemenin Medi waktu ngurus ini ngurus itu. Sekarang biarin Medi sendiri ya bu? Medi kan udah gede, udah jadi mahasiswa, mau nggak mau Medi harus mandiri dong.. Kapan Medi mau mandiri kalau ibu ngawasin Medi terus, ngikutin Medi terus. Masa mau sih semur hidup ditemenin ibu terus. Nggak dong bu.. hehe..“ Aku kan udah mahasiswa, malu lah kalau harus ditemenin ibu.
“Ah kau ini, mahasiswa baru juga udah berasa jadi mahasiswa lama aja..”
“Maksud ibu gimana? Kan emang Medi tu udah jadi mahasiswa. Kan Medi emang udah diterima jadi mahasiwa..”
“Iya deh Medina anakku sayang.. Tapi kan kamu besok ospek, kalau repot, butuh ini butuh itu, suruh ini suruh itu, bisa sendiri nih? Yakin nggak perlu bantuan ibu?”
“Yaa.. Insyaallah bisa. Ibu bantu doa aja ya bu..”
Begitulah, ibu terlalu mengkhawatirkanku. Selalu menggapku seperti anak kecil saja. Maklum aku memang anak terkecil di keluargaku, pantas saja ibu memperlakukanku begitu. Tapi aku sudah bosan diperlakukan seperti itu terus.
Akhirnya dengan ijin kedua orang tuaku, aku pun berangkat ke Semarang seorang diri. Alhamdulillah aku masih dilindungi Allah, sehingga aku masih bisa selamat tanpa kurang satu pun.
Dan kini, aku disambut oleh patung kuda bertuankan Pangeran Diponegoro, dan di atasnya tertulis UNIVERSITAS DIPONEGORO. Yap, kawan.. Aku sekarang menjadi mahasiswa baru Universitas Diponegoro Semarang, Fakultas Teknik, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.

{{{

Allahu akbar Allahu akbar..
Gema adzan shubuh telah berkumandang memanggil-manggil. Ku sudah terjaga sejak jam tiga tadi. Ya, aku tadi shalat malam, qiyamul lail. Kalau Ziya dan Hera–– dua sahabat sejatiku sejak SMA –– tahu pasti mereka shock. Biasanya shalat shubuh aja aku jam enam. Bagaimana mungkin bisa bangun jam tiga untuk shalat tahajud? Haha.. Aku saja heran dengan perubahanku ini.
Semua ini berawal dari tempat ini. Ya, rumah kos ini. Sepertinya aku telah terjerumus di jalan yang lurus dan terdampar di jalan yang benar. Ketika aku mencari kos-kosan, aku benar-benar tak tahu dan tak mengira bahwa tetangga kamarku adalah tipe-tipe ‘anak rohis’. Bayangkan saja, dari 10 anak yang ngekos di kosan ini, semuanya berjibab, kecuali aku. Dan 6 dari 10 anak itu menutupi kepalanya dengan jilbab yang lebar, tebal, bahkan kadang dobel. Lekukan tubuh mereka terbungkus pakaian rapi, panjang, dan longgar. Ia menutupi bentuk kakinya dengan selalu menggunakan rok. Mereka juga tak tanggung-tanggung menutupi kakinya dengan kaos kaki. Hanya wajah dan telapak tangan mereka yang nampak, sama seperti perintah Allah dalam al-quran yang sering kudengar, namun masih sulit kulaksanakan.
Awalnya aku menganggap mereka aneh, mereka menurutku memiliki aliran tertentu yang sesat yang saat ini sedang menjadi trend pada berita – berita nasional. Namun lama kelamaan, aku tak memedulikan itu. Karena sifat mereka begitu baik kepada ku dan kepada tetangga – tetangga kosku semua, serat tak ada satupun dari mereka yang mencurigakan.
Hingga pernah suatu hari, aku bangun kesiangan. Aku keluar kamar dengan sangat terburu-buru, dengan menampakkan wajah panik.
“Ada apa Medina? Kayaknya panik banget?” tegur Kak Isha, kakak berjilbab lebar yang kamarnya berada di sebelah kiriku.
“Iya Kak, aku hampir telat nih kuliahnya, tadi bangun kesiangan..” jawabku tanpa menoleh sedetik pun ke wajah ayu Kak Isha.
“Mau aku anterin? Sekalian aku juga mau ke kampus..” wah, dia menawarkan bantuan yang benar-benar sangat-sangat aku butuhkan.
“Tapi Kak, kampusku kan lebih jauh dari kampus kakak. Lagipula Kak Isha nggak buru-buru?” jawabku basa-basi.
“Nggak apa apa. Kakak nggak buru-buru kok. Ini bukan mau kuliah kok, ada syuro’ rohis. Udahlah ayo, ikut Kakak. Ntar telat lho..”
Aku diantar sampai depan kampus. Lalu Kak Isha memutar balikkan motor matic warna pink-nya. Hingga akhirnya, aku tak perlu naik angkot yang lelet itu.
Tak hanya itu dan tak hanya dia. Suatu ketika Kak Arsi –– kakak yang kamarnya persis berada di depanku–– mendapatiku sedang memegang perutku dengan tampang meringis kesakitan.
“Lho Med, kenapa to?” sapanya.
Aku sebenarnya sangat malas untuk menjawab pertanyaan itu. Namun kupaksa menjawabnya. “Maag Kak..” Setelah Kak Arsi menanya-nanyaiku layaknya dokter, ia pergi meninggalkanku dan masuk kembali ke dalam kamarku dengan semangkuk bubur ayam yang masih hangat.
“Ayo dimakan dulu Med, biar perutmu nggak sakit. Eh, tapi sebelum makan, kamu minum obat ini dulu ya?” katanya seraya menyodorkan satu tablet obat berwarna hijau muda itu. Dia memang bukan anak kedokteran, namun tampaknya ia lebih cekatan daripada dokter ynag sering kujumpai.
Itu hanya beberapa kebaikan mereka, masih banyak lainnya. Hingga suatu saat, Kak Isha melihatku sedang termenung dan sedikit menangis. Ia menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di pundakku.
“Kamu kenapa Med?” tanyanya ramah.
Aku tak mau mengatakannya. Aku malu. Karena tangisanku adalah tangisan rinduku pada ibu. Aku kan sudah mahasiswa, malu lah aku untuk mengakuinya.
“Ayolah, ceritakan pada kakak. Siapa tahu kakak bisa bantu, kalaupun kakak nggak bisa bantu, setidaknya bebanmu lebih berkurang. Itu sih menurut kakak.”
Benar juga sebenarnya apa yang Kak Isha bilang. Namun aku masih malu untuk menceritakannya. Dan aku hanya bisa menggeleng dengan senyuman yang dapat diartikan Aku baik-baik saja Kak, terima kasih..
“Ya sudah lah, jika kamu masih sungkan mengatakannya pada kakak. Tapi kamu punya Allah. Ia yang selalu ada dimana pun dan kapan pun kamu berada, Dia Maha Tahu, Dia Maha Melihat, Maha Mendengar. Kalau kamu punya masalah yang mungkin susah untuk menceritakannya pada orang lain, maka curhat saja pada Allah. Dia pasti membantu. Hatimu pasti lebih tenang, bebanmu lebih ringan. Coba saja. Okey Medina?” saran Kak Isha bijak.
Haha, aku aneh saja mendengarnya. Curhat sama Allah? Belum pernah aku curhat sama Allah. Tapi apa salahnya kau coba. Dan saat ini, sudah beberapa kali ‘ritual’ itu aku lakukan. Aku kerap menangis setelah solat. Entah apa yang membuatku menangis. Mungkin kerinduanku dengan kampung halaman, dengan kedua orang tuaku, atau karena mungkin aku telah banyak melakukan dosa sehingga aku merasa amat sangat bersalah ketika menghadap Allah. Namun satu yang kurasakan, aku telah menemukan teman curhat. Bahkan lebih dari sekedar teman curhat, tapi sahabat, penolong, segalanya. Aku baru merasakan hal seperti ini, dekat dengan Allah. Sesuatu yang jarang aku rasakan sebelumnya.
Benar juga apa yang dikatakan Kak Isha, hatiku merasa lebih tenang, lebih ringan, lebih ikhlas. Allah sekarang menjadi sahabat terbaikku. Sedikit demi sedikit aku benar – benar berubah haluan.

{{{

Tiba – tiba handphone Nokia E63 ku berdering. Ada sms.

“Medi, udah bangun blm? Solat shubuh.”

Sms dari ibuku. Kuketik deretan huruf dalam ponselku.

“Iya, udh bu. Udah bangun dari tadi. Ni baru selese solat..”

Pesan terkirim. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi ibuku saat membaca sms dariku. Berdering lagi ponselku. Ku klik open.

“Alhamdulillah..”

Hee, ibuku benar – benar lembut, tidak lebay seperti aku. Hmmm, aku menjadi kangen denganmu, ibu. Kapan aku pulang untuk bertemu ibu. Selain di kampus banyak kegiatan, aku pun belum punya dana  untuk pulang.
Rasanya sempurna sekali aku saat ini. Aku merasa lebih dekat dan cinta dengan Penciptaku dan kepada kedua orang tuaku.
“Dek, udah bangun belum? Solat…” Aku tahu itu suara Kak Isha. Dia rajin mengingatkanku untuk bangun solat shubuh. Karena suatu waktu yang lalu, aku pernah bercerita pada Kak Isha bahwa aku jarang bangun tepat waktu untuk sholat shubuh. Itulah, Kak Isha rajin membangunkanku.
“Iya Kak udah kok..” Aku membukakan pintu untuknya.
“Baguslah.. Udah mulai rajin kan sekarang?” Tanyanya ramah.
“Sebenarnya kalau ada tempat lebih lapang kita bisa gunakan untuk sholat berjamaah ya? Namun sayang, tak ada. Tapi sebenernya kalau dimepet-mepetin kamar kita cukup buat solat dua orang sih.. Kalau ada kesempatan sholat berjamaah, sholat berjamaah bareng kakak aja yaa.. Bisa di kamar kakak, atau di kamarmu.. Sholat berjamaah kan lebih baik daripada sholat sendiri. Pahalanya lebih banyak, 27 lho.. hehee..”
“Oh.. iya kak..”
Mulai dari saat itu, jika ada kesempatan untuk sholat berjamaah, aku sholat berjamaah. Tak hanya di kos-kosan ini, namun juga di kampus, atau dimanapun aku berada.

{{{

“Dek, lagi sibuk ngga? mau ikut kita nggak?” Ajak Kak Isha di suatu sore yang teduh, dia mengetuk pintuku dengan pelan.
“Kemana kak?” Ku buka pintu kamarku. Dan kulihat ada Kak Isha, Kak Arsi, dan Kak Dini di depan pintuku. Sudah rapi.
“Kita mau kajian dek, di Masjid Kampus. Ikut yuk. Daripada di kos sendirian lho..” Jawab Isha.
“Emang kalo kakak-kakak pergi, di kos ini tinggal aku doang mbak?”
“Iya, Dek.. Yang lain tadi udah pada pergi..”
“Emang kajian apaan si mbak?”
“Ya kajian rutin dek. Tapi yang ngisi kajian itu dari mahasiswa juga kok. Jadi kan materinya itu kita banget. Gimana?”
“Yaudah deh.. Aku ikut. Aku ganti baju dulu ya.” Aku menutup pintuku, karena akan berganti pakaian. Ketika kau membuka lemariku, gerakku terhenti, dan aku berpikir. Lalu kubuka lagi pintu kamarku.
“Kak, berarti kau pake jilbab dong?” tanyaku.
Mereka bertiga hanya tersenyum, yang dapat kudefinisikan sebagai iya adekku sayang…
“Hmm.. okelah kalau begitu. Aku punya jilbab kok. Sebentar ya Kak..”
Cukup lama aku membuat mereka menunggu. Ya aku kan harus menggunakan jilbabku dengan rapi..
“Wah, cantik sekali Medina..” puji Kak Siti ketika melihatku keluar kamar dengan pakaian panjang dan jilbab. Aku hanya tersipu malu.
“Gini dong, baru namanya Medina.. hehe.. yuk yuk berangkat. 30 detik lagi kajiannya mulai nih.. “ Kita tersenyum simpul. Kak Arsi bisa bercanda ternyata, walau sedikit garing, hehe.
Haha, mimpi apa aku semalam? Sampai aku bisa jalan bareng akhwat – akhwat ini? Yap, kini aku sudah mulai kenal istilah akhwat. Tapi aku sedikit malu berjalan bersama mereka. Aku tak seanggun mereka, dengan kaos dan celana jeans ketat. Sangat berbeda dari mereka. Namun setidaknya aku telah memakai jilbabku walaupun tipis dan mini.
Walaupun begitu aku betah berada lama bersama mereka dan teman-teman mereka, aku betah mengenakan jilbab di kepalaku, sungguh! Aku tak merasakan kegerahan atau apapun itu. Apa mungkin karena ini adalah sore yang sejuk? Atau hatiku yang mulai sejuk? Entahlah..

{{{
Pukul 07.20.
Aku ada kuliah pukul 08.00. Aku sudah mandi, sudah sarapan. Masih ada waktu cukup lama untuk berdandan. Aku mematut diri di depan cermin. Tiba-tiba pandanganku mengarah ke jilbab segi empat yang kupakai kemarin sore. Aku coba memakainya, menyerasikannya dengan kemeja ku. Ternyata warnanya pas sekali. Tiba-tiba, aku berniat memakai jilbab ke kampus. Tapi.. Ah sudahlah, aku sudah dewasa. Aku sebenarnya tahu karena menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Ok!
Aku berjalan dengan sangat percaya diri menelusuri jalan di kampus. Yap, Aku memakai jilbab sekarang!
Sungguh, aku sangat menikmati perubahanku sekarang. Perubahan itu datang secara tak kita sadari dari tempat yang tak terduga dan waktu yang tak kita tahu. Perubahan itu datangnya tiba-tiba, namun perlahan dan pasti, dan satu hal lagi, perubahan itu indah.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 23 Januari 2012

Perubahan Itu Indah

Diposting oleh nuratnamukti di 20.52

Pukul 08.00 waktu jam tangan ku. Ku langkahkan kakiku menuruni tangga kecil dari dalam bis menuju ke aspal hitam di kota impianku. Kuucapkan terima kasih pada bus yang aku tumpangi selama kira-kira 4-5 jam lamanya. Tentunya dalam hati, tak mungkin lah aku mengucapkan terima kasih pada benda mati, apalagi bus ekonomi yang tua ini. Nanti banyak orang berfikir aku lebay, bahkan gila. Oh, tidak!
Tersenyum bangga aku ketika melangkahkan kakiku di sini. Di tempat pemberhentian bis di kota harapanku ini. Kota yang akan ku tinggali selama beberapa tahun ke depan nantinya. Kota dimana aku akan menuntut ilmu, menimba segala pengetahuan, menggali seluruh pengalaman, dan merajut semua harapan, impian, mimpi-mimpi, asa dan cita-cita. Kota yang berperan sebagai pintu gerbang keberhasilanku nanti. Welcome to Semarang.
Aku bangga, karena akhirnya aku bisa sampai di sini dengan selamat. Walaupun pada awalnya banyak yang meragukanku.
“Udah deh Medina, ibu temenin ya..” bujuk ibu.
“Nggak usah lah bu.. Ibu kan udah nemenin Medi waktu ngurus ini ngurus itu. Sekarang biarin Medi sendiri ya bu? Medi kan udah gede, udah jadi mahasiswa, mau nggak mau Medi harus mandiri dong.. Kapan Medi mau mandiri kalau ibu ngawasin Medi terus, ngikutin Medi terus. Masa mau sih semur hidup ditemenin ibu terus. Nggak dong bu.. hehe..“ Aku kan udah mahasiswa, malu lah kalau harus ditemenin ibu.
“Ah kau ini, mahasiswa baru juga udah berasa jadi mahasiswa lama aja..”
“Maksud ibu gimana? Kan emang Medi tu udah jadi mahasiswa. Kan Medi emang udah diterima jadi mahasiwa..”
“Iya deh Medina anakku sayang.. Tapi kan kamu besok ospek, kalau repot, butuh ini butuh itu, suruh ini suruh itu, bisa sendiri nih? Yakin nggak perlu bantuan ibu?”
“Yaa.. Insyaallah bisa. Ibu bantu doa aja ya bu..”
Begitulah, ibu terlalu mengkhawatirkanku. Selalu menggapku seperti anak kecil saja. Maklum aku memang anak terkecil di keluargaku, pantas saja ibu memperlakukanku begitu. Tapi aku sudah bosan diperlakukan seperti itu terus.
Akhirnya dengan ijin kedua orang tuaku, aku pun berangkat ke Semarang seorang diri. Alhamdulillah aku masih dilindungi Allah, sehingga aku masih bisa selamat tanpa kurang satu pun.
Dan kini, aku disambut oleh patung kuda bertuankan Pangeran Diponegoro, dan di atasnya tertulis UNIVERSITAS DIPONEGORO. Yap, kawan.. Aku sekarang menjadi mahasiswa baru Universitas Diponegoro Semarang, Fakultas Teknik, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.

{{{

Allahu akbar Allahu akbar..
Gema adzan shubuh telah berkumandang memanggil-manggil. Ku sudah terjaga sejak jam tiga tadi. Ya, aku tadi shalat malam, qiyamul lail. Kalau Ziya dan Hera–– dua sahabat sejatiku sejak SMA –– tahu pasti mereka shock. Biasanya shalat shubuh aja aku jam enam. Bagaimana mungkin bisa bangun jam tiga untuk shalat tahajud? Haha.. Aku saja heran dengan perubahanku ini.
Semua ini berawal dari tempat ini. Ya, rumah kos ini. Sepertinya aku telah terjerumus di jalan yang lurus dan terdampar di jalan yang benar. Ketika aku mencari kos-kosan, aku benar-benar tak tahu dan tak mengira bahwa tetangga kamarku adalah tipe-tipe ‘anak rohis’. Bayangkan saja, dari 10 anak yang ngekos di kosan ini, semuanya berjibab, kecuali aku. Dan 6 dari 10 anak itu menutupi kepalanya dengan jilbab yang lebar, tebal, bahkan kadang dobel. Lekukan tubuh mereka terbungkus pakaian rapi, panjang, dan longgar. Ia menutupi bentuk kakinya dengan selalu menggunakan rok. Mereka juga tak tanggung-tanggung menutupi kakinya dengan kaos kaki. Hanya wajah dan telapak tangan mereka yang nampak, sama seperti perintah Allah dalam al-quran yang sering kudengar, namun masih sulit kulaksanakan.
Awalnya aku menganggap mereka aneh, mereka menurutku memiliki aliran tertentu yang sesat yang saat ini sedang menjadi trend pada berita – berita nasional. Namun lama kelamaan, aku tak memedulikan itu. Karena sifat mereka begitu baik kepada ku dan kepada tetangga – tetangga kosku semua, serat tak ada satupun dari mereka yang mencurigakan.
Hingga pernah suatu hari, aku bangun kesiangan. Aku keluar kamar dengan sangat terburu-buru, dengan menampakkan wajah panik.
“Ada apa Medina? Kayaknya panik banget?” tegur Kak Isha, kakak berjilbab lebar yang kamarnya berada di sebelah kiriku.
“Iya Kak, aku hampir telat nih kuliahnya, tadi bangun kesiangan..” jawabku tanpa menoleh sedetik pun ke wajah ayu Kak Isha.
“Mau aku anterin? Sekalian aku juga mau ke kampus..” wah, dia menawarkan bantuan yang benar-benar sangat-sangat aku butuhkan.
“Tapi Kak, kampusku kan lebih jauh dari kampus kakak. Lagipula Kak Isha nggak buru-buru?” jawabku basa-basi.
“Nggak apa apa. Kakak nggak buru-buru kok. Ini bukan mau kuliah kok, ada syuro’ rohis. Udahlah ayo, ikut Kakak. Ntar telat lho..”
Aku diantar sampai depan kampus. Lalu Kak Isha memutar balikkan motor matic warna pink-nya. Hingga akhirnya, aku tak perlu naik angkot yang lelet itu.
Tak hanya itu dan tak hanya dia. Suatu ketika Kak Arsi –– kakak yang kamarnya persis berada di depanku–– mendapatiku sedang memegang perutku dengan tampang meringis kesakitan.
“Lho Med, kenapa to?” sapanya.
Aku sebenarnya sangat malas untuk menjawab pertanyaan itu. Namun kupaksa menjawabnya. “Maag Kak..” Setelah Kak Arsi menanya-nanyaiku layaknya dokter, ia pergi meninggalkanku dan masuk kembali ke dalam kamarku dengan semangkuk bubur ayam yang masih hangat.
“Ayo dimakan dulu Med, biar perutmu nggak sakit. Eh, tapi sebelum makan, kamu minum obat ini dulu ya?” katanya seraya menyodorkan satu tablet obat berwarna hijau muda itu. Dia memang bukan anak kedokteran, namun tampaknya ia lebih cekatan daripada dokter ynag sering kujumpai.
Itu hanya beberapa kebaikan mereka, masih banyak lainnya. Hingga suatu saat, Kak Isha melihatku sedang termenung dan sedikit menangis. Ia menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di pundakku.
“Kamu kenapa Med?” tanyanya ramah.
Aku tak mau mengatakannya. Aku malu. Karena tangisanku adalah tangisan rinduku pada ibu. Aku kan sudah mahasiswa, malu lah aku untuk mengakuinya.
“Ayolah, ceritakan pada kakak. Siapa tahu kakak bisa bantu, kalaupun kakak nggak bisa bantu, setidaknya bebanmu lebih berkurang. Itu sih menurut kakak.”
Benar juga sebenarnya apa yang Kak Isha bilang. Namun aku masih malu untuk menceritakannya. Dan aku hanya bisa menggeleng dengan senyuman yang dapat diartikan Aku baik-baik saja Kak, terima kasih..
“Ya sudah lah, jika kamu masih sungkan mengatakannya pada kakak. Tapi kamu punya Allah. Ia yang selalu ada dimana pun dan kapan pun kamu berada, Dia Maha Tahu, Dia Maha Melihat, Maha Mendengar. Kalau kamu punya masalah yang mungkin susah untuk menceritakannya pada orang lain, maka curhat saja pada Allah. Dia pasti membantu. Hatimu pasti lebih tenang, bebanmu lebih ringan. Coba saja. Okey Medina?” saran Kak Isha bijak.
Haha, aku aneh saja mendengarnya. Curhat sama Allah? Belum pernah aku curhat sama Allah. Tapi apa salahnya kau coba. Dan saat ini, sudah beberapa kali ‘ritual’ itu aku lakukan. Aku kerap menangis setelah solat. Entah apa yang membuatku menangis. Mungkin kerinduanku dengan kampung halaman, dengan kedua orang tuaku, atau karena mungkin aku telah banyak melakukan dosa sehingga aku merasa amat sangat bersalah ketika menghadap Allah. Namun satu yang kurasakan, aku telah menemukan teman curhat. Bahkan lebih dari sekedar teman curhat, tapi sahabat, penolong, segalanya. Aku baru merasakan hal seperti ini, dekat dengan Allah. Sesuatu yang jarang aku rasakan sebelumnya.
Benar juga apa yang dikatakan Kak Isha, hatiku merasa lebih tenang, lebih ringan, lebih ikhlas. Allah sekarang menjadi sahabat terbaikku. Sedikit demi sedikit aku benar – benar berubah haluan.

{{{

Tiba – tiba handphone Nokia E63 ku berdering. Ada sms.

“Medi, udah bangun blm? Solat shubuh.”

Sms dari ibuku. Kuketik deretan huruf dalam ponselku.

“Iya, udh bu. Udah bangun dari tadi. Ni baru selese solat..”

Pesan terkirim. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi ibuku saat membaca sms dariku. Berdering lagi ponselku. Ku klik open.

“Alhamdulillah..”

Hee, ibuku benar – benar lembut, tidak lebay seperti aku. Hmmm, aku menjadi kangen denganmu, ibu. Kapan aku pulang untuk bertemu ibu. Selain di kampus banyak kegiatan, aku pun belum punya dana  untuk pulang.
Rasanya sempurna sekali aku saat ini. Aku merasa lebih dekat dan cinta dengan Penciptaku dan kepada kedua orang tuaku.
“Dek, udah bangun belum? Solat…” Aku tahu itu suara Kak Isha. Dia rajin mengingatkanku untuk bangun solat shubuh. Karena suatu waktu yang lalu, aku pernah bercerita pada Kak Isha bahwa aku jarang bangun tepat waktu untuk sholat shubuh. Itulah, Kak Isha rajin membangunkanku.
“Iya Kak udah kok..” Aku membukakan pintu untuknya.
“Baguslah.. Udah mulai rajin kan sekarang?” Tanyanya ramah.
“Sebenarnya kalau ada tempat lebih lapang kita bisa gunakan untuk sholat berjamaah ya? Namun sayang, tak ada. Tapi sebenernya kalau dimepet-mepetin kamar kita cukup buat solat dua orang sih.. Kalau ada kesempatan sholat berjamaah, sholat berjamaah bareng kakak aja yaa.. Bisa di kamar kakak, atau di kamarmu.. Sholat berjamaah kan lebih baik daripada sholat sendiri. Pahalanya lebih banyak, 27 lho.. hehee..”
“Oh.. iya kak..”
Mulai dari saat itu, jika ada kesempatan untuk sholat berjamaah, aku sholat berjamaah. Tak hanya di kos-kosan ini, namun juga di kampus, atau dimanapun aku berada.

{{{

“Dek, lagi sibuk ngga? mau ikut kita nggak?” Ajak Kak Isha di suatu sore yang teduh, dia mengetuk pintuku dengan pelan.
“Kemana kak?” Ku buka pintu kamarku. Dan kulihat ada Kak Isha, Kak Arsi, dan Kak Dini di depan pintuku. Sudah rapi.
“Kita mau kajian dek, di Masjid Kampus. Ikut yuk. Daripada di kos sendirian lho..” Jawab Isha.
“Emang kalo kakak-kakak pergi, di kos ini tinggal aku doang mbak?”
“Iya, Dek.. Yang lain tadi udah pada pergi..”
“Emang kajian apaan si mbak?”
“Ya kajian rutin dek. Tapi yang ngisi kajian itu dari mahasiswa juga kok. Jadi kan materinya itu kita banget. Gimana?”
“Yaudah deh.. Aku ikut. Aku ganti baju dulu ya.” Aku menutup pintuku, karena akan berganti pakaian. Ketika kau membuka lemariku, gerakku terhenti, dan aku berpikir. Lalu kubuka lagi pintu kamarku.
“Kak, berarti kau pake jilbab dong?” tanyaku.
Mereka bertiga hanya tersenyum, yang dapat kudefinisikan sebagai iya adekku sayang…
“Hmm.. okelah kalau begitu. Aku punya jilbab kok. Sebentar ya Kak..”
Cukup lama aku membuat mereka menunggu. Ya aku kan harus menggunakan jilbabku dengan rapi..
“Wah, cantik sekali Medina..” puji Kak Siti ketika melihatku keluar kamar dengan pakaian panjang dan jilbab. Aku hanya tersipu malu.
“Gini dong, baru namanya Medina.. hehe.. yuk yuk berangkat. 30 detik lagi kajiannya mulai nih.. “ Kita tersenyum simpul. Kak Arsi bisa bercanda ternyata, walau sedikit garing, hehe.
Haha, mimpi apa aku semalam? Sampai aku bisa jalan bareng akhwat – akhwat ini? Yap, kini aku sudah mulai kenal istilah akhwat. Tapi aku sedikit malu berjalan bersama mereka. Aku tak seanggun mereka, dengan kaos dan celana jeans ketat. Sangat berbeda dari mereka. Namun setidaknya aku telah memakai jilbabku walaupun tipis dan mini.
Walaupun begitu aku betah berada lama bersama mereka dan teman-teman mereka, aku betah mengenakan jilbab di kepalaku, sungguh! Aku tak merasakan kegerahan atau apapun itu. Apa mungkin karena ini adalah sore yang sejuk? Atau hatiku yang mulai sejuk? Entahlah..

{{{
Pukul 07.20.
Aku ada kuliah pukul 08.00. Aku sudah mandi, sudah sarapan. Masih ada waktu cukup lama untuk berdandan. Aku mematut diri di depan cermin. Tiba-tiba pandanganku mengarah ke jilbab segi empat yang kupakai kemarin sore. Aku coba memakainya, menyerasikannya dengan kemeja ku. Ternyata warnanya pas sekali. Tiba-tiba, aku berniat memakai jilbab ke kampus. Tapi.. Ah sudahlah, aku sudah dewasa. Aku sebenarnya tahu karena menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Ok!
Aku berjalan dengan sangat percaya diri menelusuri jalan di kampus. Yap, Aku memakai jilbab sekarang!
Sungguh, aku sangat menikmati perubahanku sekarang. Perubahan itu datang secara tak kita sadari dari tempat yang tak terduga dan waktu yang tak kita tahu. Perubahan itu datangnya tiba-tiba, namun perlahan dan pasti, dan satu hal lagi, perubahan itu indah.

0 komentar on "Perubahan Itu Indah"

Posting Komentar

 

live and life Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea