Gadis berusia 16 tahun itu tergolek lemah di tempat tidur bersprei hijau di bangsal nomor 10. Tubuhnya yang kurus tampak lebih kurus dengan selang – selang yang membelit tubuhnya. Terlihat selang infuse di pergelangan tangan kanannya, selang oksigen yang mendatar diantara hidung dan mulutnya, dua selang yang tampak di bawah selimut, yang aku tak yakin itu apa. Satunya berwarna merah kehitaman, yang satunya cairan kuning yang kurasa itu urine.
Di sebelahnya kulihat seorang ibu, mungkin ibunya. Ia dengan ikhlas menunggui gadis pesakitan itu. Bacaan alqurannya yang fasih menggema ke seluruh sudut ruangan kecil itu, yang membuat pendengarnya merasa tenteram dan damai. Disampingnya terbaringlah seorang lelaki dewasa di sofa. Ia nampak kelelahan, mungkin ayahnya yang kelelahan mondar – mandir mengurus ini mengurus itu, ke sana ke sini.
Ku arahkan lagi pandanganku ke gadis itu. Kulitnya pucat, matanya terpejam, ia tertidur, namun tampak tenang. Padahal status dia adalah pesakitan. Ku geser lagi bola mataku ke arah wanita di sampingnya itu. Terkadang tampak air mata di ujung matanya, namun segera dihapus dengan jarinya, seakan malu jika aku meilhat. Ku geser lagi ke arah lelaki yang sedang berbaring di sofa itu, masih tidur, terkadang mendengkur.
Sebuah keluarga. Ya, aku yakin, itu sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang harmonis.
Aku ingat saat kemarin gadis ini tak setenang kali ini. Di pertengahan malam, saat dini hari, ia terbangun, menjerit, kesakitan, lalu diam, dan jatuh. Pingsan. Ia terbangun lagi, merasa sakit yang amat dahsyat, lalu jatuh pingsan lagi. Kedua orang tua yang sekarang menemaninya tampak kewalahan, kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya bisa memanggil perawat yang berjaga. Mereka hanya bisa menangis, berdoa pada yang Kuasa. Kedua orang tua tersebut tak dapat tidur, pandangan dan perhatiannya tak dapat lepas dari gadis kurus nan lemah ini. Bahkan aku ingat, gadis itu mengeluarkan cairan agak kental berwarna merah kehitaman atau hitam kemerahan, tak jelas, dari mulutnya. Tak hanya sesekali, namun berkali-kali, lebih dari dua kali. Ketiga kalinya, baru ku menyadari. Itu darah. Ya, darah keluar dari mulutnya. Ia muntah darah! Sungguh, kasihan sekali gadis itu. Ia begitu tak berdayanya. Aku rasa dia telah pasrah jika saat itu juga Allah Yang Kuasa mengambil jiwa dari raganya.
Namun, kali ini, detik ini, mereka –– orang-orang tua ini, para perawat ––tampak sedikit lebih lega dari tadi malam. Lelaki dewasa –– ayahnya –– itu buktinya, sudah bisa tidur dengan tenang. Tak ada perawat yang datang karena panggilan. Mereka hanya datang sesekali untuk mengecek keadaan anak itu, atau memberi obat, atau mengganti infuse, atau mengukur tensinya.
Sekali lagi, berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Ketika gadis itu baru saja menjadi penghuni sementara ruangan ini. Tak hanya perawat, namun dokter berganti-gantian keluar masuk ruangan ini. Tersirat di dahi mereka, bahwa mereka sedang berfikir. Atau apalah yang sedang dipikirkan seorang dokter itu. Banyak pula perawat – perawat yang mengajaknya keluar, walau tubuh gadis itu sangat lemah. Ia didorong keluar kamar, secara pelan dan tampak berhati-hati. Bukan. Ia bukan akan diajak jalan – jalan ternyata. Mereka memasuki ruangan bertuliskan radiologi dengan cat hitam pada papan putih di atas pintu kayunya. Di dalamnya, ia dimasukkan lagi ke ruang untuk rontgen ku kira. Tak lama, terlihat mereka keluar. Namun kembali memasuki ruangan. Kali ini ruangannya lebih kecil. Bertuliskan USG.
Setengah jam kemudian ku lihat gadis itu sudah terbaring lagi di kamarnya. Ku lihat sekeliling. Tak ada dua orang dewasa yang biasa menungguinya dengan setia. Kemana mereka? Kulihat ada sepasang lelaki dan wanita memasuki ruangan ini. Namun mereka bukan orang tuanya, bukan dua orang yang biasa menungguinya. Entahlah siapa. Aku ingat, sang wanita bertanya pada gadis itu. “Lho adek sendirian?”. Aku juga masih bisa mengingat suara kecil gadis kecil itu, “Iya..”
Di waktu yang sama, ku langkahkan kakiku melacak keberadaan orang tua gadis itu. Ku dapati ibunya duduk di hadapan beberapa orang berpakaian putih, aku sangat yakin bahwa mereka adalah tim medis. Dokter dan para perawatnya.
“Jadi bu, dalam perut anak ibu ada cairan yang saya prediksikan adalah darah. Kami memprediksikan bahwa cairan itu berasal dari kista yang telah pecah bu. Jika dibiarkan terus akan bertambah banyak, sehingga HB anak ibu akan turun. Jika dibiarkan bukannya tak mungkin nyawa anak ibu sudah melayang.”
“Jadi..”
“Iya bu.. Jadi selama ini anak ibu mengidap penyakit kronis yang tak diketahui. Kista endometriosis. Gangguan pada dinding rahimnya, atau endometriumnya. Sewaktu ia datang pertama kali di sini, ibu berkata bahwa memang setiap bulan, sebelum ia datang bulan pasti merasa sakit di perut bagian bawahnya bukan? Itu karena ada kista di rahimnya bu.. Namun entahlah, mengapa kista itu dapat pecah, belum diketahui sebabnya.”
Ibu itu hanya bisa menundukkan kepalanya, sesenggukkan, menangis.
“Ia kasihan bu.. Setiap bulan ia pasti merasakan rasa sakit yang dahsyat. Yang lebih kasihannya lagi, ia masih kecil bu.. Ia masih muda.. Terlalu muda untuk melawan penyakit ini. Penyakit berbahaya ini.”
“Sebenarnya ini adalah keputusan yang sangat berat bu. Kami akui, kami memang sedikit bingung dengan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami serba salah bu. Jika dibiarkan saja tentunya sangat berbahaya, karena kasus ini adalah pendarah an di dalam, namun jika kami melakukan tindakan, hanya bisa dengan jalan operasi. Sementara itu, operasi tidak dapat dilakukan dengan hb anak ibu yang rendah, yaitu 5,2. Namun bagaimana lagi bu, untuk menyelamatkan nyawa anak ibu, operasi harus tetap dilakukan untuk mengambil darah tersebut.”
“Bagaimana bu? Jika ibu bersedia anak ibu kami operasi silakan tanda tangan di sini. Namun ibu harus berani mengambil resiko apapun. Salah satunya, resiko terburuk adalah anak ibu tidak bangun lagi setelah kami bius. Sehingga ibu tidak berhak menuntut kami, karena ibu telah berjanji menerima segala resiko dengan menandatangai surat ini.”
Ku arahkan lagi pandanganku kepada ibu gadis itu.Matanya merah. Hidungnya merah. Menangis ia.
---
Kembali lagi di bangsal 10, yang tampaknya bertambah lagi masanya. Tak lama, terdengar suara langkah kaki, berjalan terburu – buru, memasuki ruangan sakral tersebut. Ibunya, telah kembali. Seperti kondisi tadi, matanya merah, dengan air mata yang sudah meleleh, yang sudah tak bisa terbendung lagi. Ia langsung memeluk wanita sepantarannya yang berdiri di situ, yang tadi sudah datang lebih dulu. Mereka menangis. Entah apa yang mereka tangiskan. Ku arahkan pandangan mataku ke arah gadis itu. Ia juga menangis. Namun aku tak tahu mengapa mereka menangis. Dan aku tahu, gadis itu pun menangis bukan karena tahu duduk persoalannya, namun karena ia melihat kedua wanita itu menangis. Aku tahu, karena gadis itu bertanya, “Bu.. Ada apa sih bu? Kenapa ibu nangis?”
Akhirnya masuk perawat membawakan peralatan-peralatan khasnya. Dan sesaat kemudian, si gadis telah berganti dengan baju warna hijau, dan dengan tempat tidurnya, ia dibawa keluar ruangan diikuti orang – orang yang tadi berada di dalam ruangan bangsal.
Kereta dorong itu berbelok di depan ruangan berwarna putih bertuliskan RUANG OPERASI besar di atas pintunya.
“Maaf pak, bu, silakan tunggu di luar ruangan.”
---
Beberapa jam kemudian, pintu itu terbuka. Orang – orang di luar tadi termasuk kedua orang tuanya menyambutnya. Gadis itu masih belum tersadarkan. Tapi begitu lebih baik kukira, daripada dia harus merasakan sakit yang teramat sangat.
Namun, sampai saat ini, sudah setengah jam setelah gadis itu keluar dari ruang operasi. Kedua orang tuanya menjadi khawatir. Namun ia tetap sabar menunggu. Hampir di setiap waktu solat mereka solat tepat waktu dan berjamaah. Mereka menengadahkan tangan bersama, berdoa bersama, memohon dengan segala kerendahan hati mereka, dan menitikkan air mata bersama.
“Ya Allah.. Jika Engkau masih menghendaki dia menjadi anak kami, sadarkan ia, bangunkan ia dari tidurnya, sembuhkanlah segala penyakitnya, lenyapkan penyakitnya itu, berikanlah ia nikmat sehat seperti orang-orang yang lain ya Allah. Berikanlah ia kekuatan untuk menahan rasa sakitnya, berkanlah ia kekuatan untuk berjuang melawan penyakit itu. Allah.. Jika kami boleh meminta, biarlah kami saja yang menanggung penyakitnya itu. Agar ia bisa bermain lagi, bisa belajar lagi.. Kami tak sanggup lagi melihat ia kesakitan di setiap bulannya. Kami tak tega melihat ia menahan sakitnya dengan tubuh kecilnya. Terlalu banyak air mata yang kami keluarkan ya Allah… “
“Ya Allah, namun jika Engkau akan mengambilnya, kami berusaha untuk ikhlas ya Allah.. Karena kami tak berhak atas anak kami… Ia hanya titipan dari-Mu, ia milikmu sesungguhnya, seutuhnya. Ampuni kami jika kami belum bisa menjadi orang tua yang baik.. Ya Allah, jika Engkau benar-benar menghendakinya, ambil ia dengan cara yang baik-baik, yang tak menyakitinya ya Allah.. Berikanlah yang terbaik untuk anak kami, untuk kami ya Allah.. Sesungguhnya Engkau yang Maha Mengetahui mana yang terbaik. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.. Engkau Maha Penyayang, Maha Cinta, cinta-Mu tiada akhir. Cintai ia ya Allah..“
Andai gadis itu mendengarnya, ia pasti menangis, haru, dan bersemangat untuk sembuh, untuk bangkit.
---
Sudah lebih daari satu jam. Seorang perawat wanita berpakaian putih dan berjilbab masuk ke ruangan itu.
“Bagaimana bu? Belum sadar juga?”
“Belum mbak.. Dari tadi masih gini-gini aja..”
Aku teringat perkataan yang diucapkan oleh dokter tadi siang, resiko terburuk adalah anak ibu tidak bangun lagi setelah kami bius.
Perawat itu meraba pergelangan tangan anak itu. Ganti tangan yang satunya.
Oh, tidak, apakah anak ini memang sudah meninggal?
Lalu ia tempelkan jari telunjuknya ke depan lubang hidungnya. Entahlah. Wajah perawat itu panik.
Apa memang dalam tubuh kurus ini tak ada nyawanya lagi?
Melihatnya, wajah kedua orang tua anak itu pun panic, khawatir, was-was, takut, bingung, sedih, kecewa, semua berbaur bersatu yang tak bisa diungkapkan.
Apakah Allah telah mengambilnya?
Oh..
Ku lihat perawat itu memanggil teman sesama perawat menggunakan telepon yang ada di kamar itu.
“Eh, mas ke kamar 10 coba. Pasien atas nama Abita Salsabila…”
Perbincangannya belum usai, namun aku tertegun mendengar namanya. Abita Salsabila. Nama yang taka sing. Nama yang familiar. Hah? Apa? Itu namaku! Benar, sungguh itu namaku. Tapi..
Ku lihat papan nama yang tertera di tempat tidur gadis itu. Tertera dengan sangat jelas, ABITA SALSABILA. Nama anak itu sama dengan namaku. Tapi.. Bagaimana mungkin, nama kita sama.
Oh, tidak! Aku keliru! Nama kita tidak sama! Tapi satu!
Gadis yang terbaring itu adalah aku! Ya Aku! Akulah gadis itu! Abita Salsabila.
Lalu kenapa aku di sini? Bukan tempatku di sini.
Terdengar suara pintu terbuka. Perawat itu sudah datang. Oh, tidak, aku harus kembali.
Tepat ketika perawat pria itu menyentuh pergelangan tangan gadis itu, akan memeriksa denyut nadinya, gadis itu berhasil berjuang membuka matanya..
“Allah..”
---
0 komentar:
Posting Komentar