Senin, 23 Januari 2012

Perubahan Itu Indah

Diposting oleh nuratnamukti di 20.52 0 komentar

Pukul 08.00 waktu jam tangan ku. Ku langkahkan kakiku menuruni tangga kecil dari dalam bis menuju ke aspal hitam di kota impianku. Kuucapkan terima kasih pada bus yang aku tumpangi selama kira-kira 4-5 jam lamanya. Tentunya dalam hati, tak mungkin lah aku mengucapkan terima kasih pada benda mati, apalagi bus ekonomi yang tua ini. Nanti banyak orang berfikir aku lebay, bahkan gila. Oh, tidak!
Tersenyum bangga aku ketika melangkahkan kakiku di sini. Di tempat pemberhentian bis di kota harapanku ini. Kota yang akan ku tinggali selama beberapa tahun ke depan nantinya. Kota dimana aku akan menuntut ilmu, menimba segala pengetahuan, menggali seluruh pengalaman, dan merajut semua harapan, impian, mimpi-mimpi, asa dan cita-cita. Kota yang berperan sebagai pintu gerbang keberhasilanku nanti. Welcome to Semarang.
Aku bangga, karena akhirnya aku bisa sampai di sini dengan selamat. Walaupun pada awalnya banyak yang meragukanku.
“Udah deh Medina, ibu temenin ya..” bujuk ibu.
“Nggak usah lah bu.. Ibu kan udah nemenin Medi waktu ngurus ini ngurus itu. Sekarang biarin Medi sendiri ya bu? Medi kan udah gede, udah jadi mahasiswa, mau nggak mau Medi harus mandiri dong.. Kapan Medi mau mandiri kalau ibu ngawasin Medi terus, ngikutin Medi terus. Masa mau sih semur hidup ditemenin ibu terus. Nggak dong bu.. hehe..“ Aku kan udah mahasiswa, malu lah kalau harus ditemenin ibu.
“Ah kau ini, mahasiswa baru juga udah berasa jadi mahasiswa lama aja..”
“Maksud ibu gimana? Kan emang Medi tu udah jadi mahasiswa. Kan Medi emang udah diterima jadi mahasiwa..”
“Iya deh Medina anakku sayang.. Tapi kan kamu besok ospek, kalau repot, butuh ini butuh itu, suruh ini suruh itu, bisa sendiri nih? Yakin nggak perlu bantuan ibu?”
“Yaa.. Insyaallah bisa. Ibu bantu doa aja ya bu..”
Begitulah, ibu terlalu mengkhawatirkanku. Selalu menggapku seperti anak kecil saja. Maklum aku memang anak terkecil di keluargaku, pantas saja ibu memperlakukanku begitu. Tapi aku sudah bosan diperlakukan seperti itu terus.
Akhirnya dengan ijin kedua orang tuaku, aku pun berangkat ke Semarang seorang diri. Alhamdulillah aku masih dilindungi Allah, sehingga aku masih bisa selamat tanpa kurang satu pun.
Dan kini, aku disambut oleh patung kuda bertuankan Pangeran Diponegoro, dan di atasnya tertulis UNIVERSITAS DIPONEGORO. Yap, kawan.. Aku sekarang menjadi mahasiswa baru Universitas Diponegoro Semarang, Fakultas Teknik, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.

{{{

Allahu akbar Allahu akbar..
Gema adzan shubuh telah berkumandang memanggil-manggil. Ku sudah terjaga sejak jam tiga tadi. Ya, aku tadi shalat malam, qiyamul lail. Kalau Ziya dan Hera–– dua sahabat sejatiku sejak SMA –– tahu pasti mereka shock. Biasanya shalat shubuh aja aku jam enam. Bagaimana mungkin bisa bangun jam tiga untuk shalat tahajud? Haha.. Aku saja heran dengan perubahanku ini.
Semua ini berawal dari tempat ini. Ya, rumah kos ini. Sepertinya aku telah terjerumus di jalan yang lurus dan terdampar di jalan yang benar. Ketika aku mencari kos-kosan, aku benar-benar tak tahu dan tak mengira bahwa tetangga kamarku adalah tipe-tipe ‘anak rohis’. Bayangkan saja, dari 10 anak yang ngekos di kosan ini, semuanya berjibab, kecuali aku. Dan 6 dari 10 anak itu menutupi kepalanya dengan jilbab yang lebar, tebal, bahkan kadang dobel. Lekukan tubuh mereka terbungkus pakaian rapi, panjang, dan longgar. Ia menutupi bentuk kakinya dengan selalu menggunakan rok. Mereka juga tak tanggung-tanggung menutupi kakinya dengan kaos kaki. Hanya wajah dan telapak tangan mereka yang nampak, sama seperti perintah Allah dalam al-quran yang sering kudengar, namun masih sulit kulaksanakan.
Awalnya aku menganggap mereka aneh, mereka menurutku memiliki aliran tertentu yang sesat yang saat ini sedang menjadi trend pada berita – berita nasional. Namun lama kelamaan, aku tak memedulikan itu. Karena sifat mereka begitu baik kepada ku dan kepada tetangga – tetangga kosku semua, serat tak ada satupun dari mereka yang mencurigakan.
Hingga pernah suatu hari, aku bangun kesiangan. Aku keluar kamar dengan sangat terburu-buru, dengan menampakkan wajah panik.
“Ada apa Medina? Kayaknya panik banget?” tegur Kak Isha, kakak berjilbab lebar yang kamarnya berada di sebelah kiriku.
“Iya Kak, aku hampir telat nih kuliahnya, tadi bangun kesiangan..” jawabku tanpa menoleh sedetik pun ke wajah ayu Kak Isha.
“Mau aku anterin? Sekalian aku juga mau ke kampus..” wah, dia menawarkan bantuan yang benar-benar sangat-sangat aku butuhkan.
“Tapi Kak, kampusku kan lebih jauh dari kampus kakak. Lagipula Kak Isha nggak buru-buru?” jawabku basa-basi.
“Nggak apa apa. Kakak nggak buru-buru kok. Ini bukan mau kuliah kok, ada syuro’ rohis. Udahlah ayo, ikut Kakak. Ntar telat lho..”
Aku diantar sampai depan kampus. Lalu Kak Isha memutar balikkan motor matic warna pink-nya. Hingga akhirnya, aku tak perlu naik angkot yang lelet itu.
Tak hanya itu dan tak hanya dia. Suatu ketika Kak Arsi –– kakak yang kamarnya persis berada di depanku–– mendapatiku sedang memegang perutku dengan tampang meringis kesakitan.
“Lho Med, kenapa to?” sapanya.
Aku sebenarnya sangat malas untuk menjawab pertanyaan itu. Namun kupaksa menjawabnya. “Maag Kak..” Setelah Kak Arsi menanya-nanyaiku layaknya dokter, ia pergi meninggalkanku dan masuk kembali ke dalam kamarku dengan semangkuk bubur ayam yang masih hangat.
“Ayo dimakan dulu Med, biar perutmu nggak sakit. Eh, tapi sebelum makan, kamu minum obat ini dulu ya?” katanya seraya menyodorkan satu tablet obat berwarna hijau muda itu. Dia memang bukan anak kedokteran, namun tampaknya ia lebih cekatan daripada dokter ynag sering kujumpai.
Itu hanya beberapa kebaikan mereka, masih banyak lainnya. Hingga suatu saat, Kak Isha melihatku sedang termenung dan sedikit menangis. Ia menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di pundakku.
“Kamu kenapa Med?” tanyanya ramah.
Aku tak mau mengatakannya. Aku malu. Karena tangisanku adalah tangisan rinduku pada ibu. Aku kan sudah mahasiswa, malu lah aku untuk mengakuinya.
“Ayolah, ceritakan pada kakak. Siapa tahu kakak bisa bantu, kalaupun kakak nggak bisa bantu, setidaknya bebanmu lebih berkurang. Itu sih menurut kakak.”
Benar juga sebenarnya apa yang Kak Isha bilang. Namun aku masih malu untuk menceritakannya. Dan aku hanya bisa menggeleng dengan senyuman yang dapat diartikan Aku baik-baik saja Kak, terima kasih..
“Ya sudah lah, jika kamu masih sungkan mengatakannya pada kakak. Tapi kamu punya Allah. Ia yang selalu ada dimana pun dan kapan pun kamu berada, Dia Maha Tahu, Dia Maha Melihat, Maha Mendengar. Kalau kamu punya masalah yang mungkin susah untuk menceritakannya pada orang lain, maka curhat saja pada Allah. Dia pasti membantu. Hatimu pasti lebih tenang, bebanmu lebih ringan. Coba saja. Okey Medina?” saran Kak Isha bijak.
Haha, aku aneh saja mendengarnya. Curhat sama Allah? Belum pernah aku curhat sama Allah. Tapi apa salahnya kau coba. Dan saat ini, sudah beberapa kali ‘ritual’ itu aku lakukan. Aku kerap menangis setelah solat. Entah apa yang membuatku menangis. Mungkin kerinduanku dengan kampung halaman, dengan kedua orang tuaku, atau karena mungkin aku telah banyak melakukan dosa sehingga aku merasa amat sangat bersalah ketika menghadap Allah. Namun satu yang kurasakan, aku telah menemukan teman curhat. Bahkan lebih dari sekedar teman curhat, tapi sahabat, penolong, segalanya. Aku baru merasakan hal seperti ini, dekat dengan Allah. Sesuatu yang jarang aku rasakan sebelumnya.
Benar juga apa yang dikatakan Kak Isha, hatiku merasa lebih tenang, lebih ringan, lebih ikhlas. Allah sekarang menjadi sahabat terbaikku. Sedikit demi sedikit aku benar – benar berubah haluan.

{{{

Tiba – tiba handphone Nokia E63 ku berdering. Ada sms.

“Medi, udah bangun blm? Solat shubuh.”

Sms dari ibuku. Kuketik deretan huruf dalam ponselku.

“Iya, udh bu. Udah bangun dari tadi. Ni baru selese solat..”

Pesan terkirim. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi ibuku saat membaca sms dariku. Berdering lagi ponselku. Ku klik open.

“Alhamdulillah..”

Hee, ibuku benar – benar lembut, tidak lebay seperti aku. Hmmm, aku menjadi kangen denganmu, ibu. Kapan aku pulang untuk bertemu ibu. Selain di kampus banyak kegiatan, aku pun belum punya dana  untuk pulang.
Rasanya sempurna sekali aku saat ini. Aku merasa lebih dekat dan cinta dengan Penciptaku dan kepada kedua orang tuaku.
“Dek, udah bangun belum? Solat…” Aku tahu itu suara Kak Isha. Dia rajin mengingatkanku untuk bangun solat shubuh. Karena suatu waktu yang lalu, aku pernah bercerita pada Kak Isha bahwa aku jarang bangun tepat waktu untuk sholat shubuh. Itulah, Kak Isha rajin membangunkanku.
“Iya Kak udah kok..” Aku membukakan pintu untuknya.
“Baguslah.. Udah mulai rajin kan sekarang?” Tanyanya ramah.
“Sebenarnya kalau ada tempat lebih lapang kita bisa gunakan untuk sholat berjamaah ya? Namun sayang, tak ada. Tapi sebenernya kalau dimepet-mepetin kamar kita cukup buat solat dua orang sih.. Kalau ada kesempatan sholat berjamaah, sholat berjamaah bareng kakak aja yaa.. Bisa di kamar kakak, atau di kamarmu.. Sholat berjamaah kan lebih baik daripada sholat sendiri. Pahalanya lebih banyak, 27 lho.. hehee..”
“Oh.. iya kak..”
Mulai dari saat itu, jika ada kesempatan untuk sholat berjamaah, aku sholat berjamaah. Tak hanya di kos-kosan ini, namun juga di kampus, atau dimanapun aku berada.

{{{

“Dek, lagi sibuk ngga? mau ikut kita nggak?” Ajak Kak Isha di suatu sore yang teduh, dia mengetuk pintuku dengan pelan.
“Kemana kak?” Ku buka pintu kamarku. Dan kulihat ada Kak Isha, Kak Arsi, dan Kak Dini di depan pintuku. Sudah rapi.
“Kita mau kajian dek, di Masjid Kampus. Ikut yuk. Daripada di kos sendirian lho..” Jawab Isha.
“Emang kalo kakak-kakak pergi, di kos ini tinggal aku doang mbak?”
“Iya, Dek.. Yang lain tadi udah pada pergi..”
“Emang kajian apaan si mbak?”
“Ya kajian rutin dek. Tapi yang ngisi kajian itu dari mahasiswa juga kok. Jadi kan materinya itu kita banget. Gimana?”
“Yaudah deh.. Aku ikut. Aku ganti baju dulu ya.” Aku menutup pintuku, karena akan berganti pakaian. Ketika kau membuka lemariku, gerakku terhenti, dan aku berpikir. Lalu kubuka lagi pintu kamarku.
“Kak, berarti kau pake jilbab dong?” tanyaku.
Mereka bertiga hanya tersenyum, yang dapat kudefinisikan sebagai iya adekku sayang…
“Hmm.. okelah kalau begitu. Aku punya jilbab kok. Sebentar ya Kak..”
Cukup lama aku membuat mereka menunggu. Ya aku kan harus menggunakan jilbabku dengan rapi..
“Wah, cantik sekali Medina..” puji Kak Siti ketika melihatku keluar kamar dengan pakaian panjang dan jilbab. Aku hanya tersipu malu.
“Gini dong, baru namanya Medina.. hehe.. yuk yuk berangkat. 30 detik lagi kajiannya mulai nih.. “ Kita tersenyum simpul. Kak Arsi bisa bercanda ternyata, walau sedikit garing, hehe.
Haha, mimpi apa aku semalam? Sampai aku bisa jalan bareng akhwat – akhwat ini? Yap, kini aku sudah mulai kenal istilah akhwat. Tapi aku sedikit malu berjalan bersama mereka. Aku tak seanggun mereka, dengan kaos dan celana jeans ketat. Sangat berbeda dari mereka. Namun setidaknya aku telah memakai jilbabku walaupun tipis dan mini.
Walaupun begitu aku betah berada lama bersama mereka dan teman-teman mereka, aku betah mengenakan jilbab di kepalaku, sungguh! Aku tak merasakan kegerahan atau apapun itu. Apa mungkin karena ini adalah sore yang sejuk? Atau hatiku yang mulai sejuk? Entahlah..

{{{
Pukul 07.20.
Aku ada kuliah pukul 08.00. Aku sudah mandi, sudah sarapan. Masih ada waktu cukup lama untuk berdandan. Aku mematut diri di depan cermin. Tiba-tiba pandanganku mengarah ke jilbab segi empat yang kupakai kemarin sore. Aku coba memakainya, menyerasikannya dengan kemeja ku. Ternyata warnanya pas sekali. Tiba-tiba, aku berniat memakai jilbab ke kampus. Tapi.. Ah sudahlah, aku sudah dewasa. Aku sebenarnya tahu karena menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Ok!
Aku berjalan dengan sangat percaya diri menelusuri jalan di kampus. Yap, Aku memakai jilbab sekarang!
Sungguh, aku sangat menikmati perubahanku sekarang. Perubahan itu datang secara tak kita sadari dari tempat yang tak terduga dan waktu yang tak kita tahu. Perubahan itu datangnya tiba-tiba, namun perlahan dan pasti, dan satu hal lagi, perubahan itu indah.

Cintamu Tiada Akhir

Diposting oleh nuratnamukti di 20.45 0 komentar
          Gadis berusia 16 tahun itu tergolek lemah di tempat tidur bersprei hijau di bangsal nomor 10. Tubuhnya yang kurus tampak lebih kurus dengan selang – selang yang membelit tubuhnya. Terlihat selang infuse di pergelangan tangan kanannya, selang oksigen yang mendatar diantara hidung dan mulutnya, dua selang yang tampak di bawah selimut, yang aku tak yakin itu apa. Satunya berwarna merah kehitaman, yang satunya cairan kuning yang kurasa itu urine.
Di sebelahnya kulihat seorang ibu, mungkin ibunya. Ia dengan ikhlas menunggui gadis pesakitan itu. Bacaan alqurannya yang fasih menggema ke seluruh sudut ruangan kecil itu, yang membuat pendengarnya merasa tenteram dan damai. Disampingnya terbaringlah seorang lelaki dewasa di sofa. Ia nampak kelelahan, mungkin ayahnya yang kelelahan mondar – mandir mengurus ini mengurus itu, ke sana ke sini.
Ku arahkan lagi pandanganku ke gadis itu. Kulitnya pucat, matanya terpejam, ia tertidur, namun tampak tenang. Padahal status dia adalah pesakitan. Ku geser lagi bola mataku ke arah wanita di sampingnya itu. Terkadang tampak air mata di ujung matanya, namun segera dihapus dengan jarinya, seakan malu jika aku meilhat. Ku geser lagi ke arah lelaki yang sedang berbaring di sofa itu, masih tidur, terkadang mendengkur.
Sebuah keluarga. Ya, aku yakin, itu sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang harmonis.
Aku ingat saat kemarin gadis ini tak setenang kali ini. Di pertengahan malam, saat dini hari, ia terbangun, menjerit, kesakitan, lalu diam, dan jatuh. Pingsan. Ia terbangun lagi, merasa sakit yang amat dahsyat, lalu jatuh pingsan lagi. Kedua orang tua yang sekarang menemaninya tampak kewalahan, kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya bisa memanggil perawat yang berjaga. Mereka hanya bisa menangis, berdoa pada yang Kuasa. Kedua orang tua tersebut tak dapat tidur, pandangan dan perhatiannya tak dapat lepas dari gadis kurus nan lemah ini. Bahkan aku ingat, gadis itu mengeluarkan cairan agak kental berwarna merah kehitaman atau hitam kemerahan, tak jelas, dari mulutnya. Tak hanya sesekali, namun berkali-kali, lebih dari dua kali. Ketiga kalinya, baru ku menyadari. Itu darah. Ya, darah keluar dari mulutnya. Ia muntah darah! Sungguh, kasihan sekali gadis itu. Ia begitu tak berdayanya. Aku rasa dia telah pasrah jika saat itu juga Allah Yang Kuasa mengambil jiwa dari raganya.
Namun, kali ini, detik ini, mereka –– orang-orang tua ini, para perawat ––tampak sedikit lebih lega dari tadi malam. Lelaki dewasa ayahnya itu buktinya, sudah bisa tidur dengan tenang. Tak ada perawat yang datang karena panggilan. Mereka hanya datang sesekali untuk mengecek keadaan anak itu, atau memberi obat, atau mengganti infuse, atau mengukur tensinya.
Sekali lagi, berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Ketika gadis itu baru saja menjadi penghuni sementara ruangan ini. Tak hanya perawat, namun dokter berganti-gantian keluar masuk ruangan ini. Tersirat di dahi mereka, bahwa mereka sedang berfikir. Atau apalah yang sedang dipikirkan seorang dokter itu. Banyak pula perawat – perawat yang mengajaknya keluar, walau tubuh gadis itu sangat lemah. Ia didorong keluar kamar, secara pelan dan tampak berhati-hati. Bukan. Ia bukan akan diajak jalan – jalan ternyata. Mereka memasuki ruangan bertuliskan radiologi dengan cat hitam pada papan putih di atas pintu kayunya. Di dalamnya, ia dimasukkan lagi ke ruang untuk rontgen ku kira. Tak lama, terlihat mereka keluar. Namun kembali memasuki ruangan. Kali ini ruangannya lebih kecil. Bertuliskan USG.
Setengah jam kemudian ku lihat gadis itu sudah terbaring lagi di kamarnya. Ku lihat sekeliling. Tak ada dua orang dewasa yang biasa menungguinya dengan setia. Kemana mereka? Kulihat ada sepasang lelaki dan wanita memasuki ruangan ini. Namun mereka bukan orang tuanya, bukan dua orang yang biasa menungguinya. Entahlah siapa. Aku ingat, sang wanita bertanya pada gadis itu. “Lho adek sendirian?”. Aku juga masih bisa mengingat suara kecil gadis kecil itu, “Iya..”
Di waktu yang sama, ku langkahkan kakiku melacak keberadaan orang tua gadis itu. Ku dapati ibunya duduk di hadapan beberapa orang berpakaian putih, aku sangat yakin bahwa mereka adalah tim medis. Dokter dan para perawatnya.
“Jadi bu, dalam perut anak ibu ada cairan yang saya prediksikan adalah darah. Kami memprediksikan bahwa cairan itu berasal dari kista yang telah pecah bu. Jika dibiarkan terus akan bertambah banyak, sehingga HB anak ibu akan turun. Jika dibiarkan bukannya tak mungkin nyawa anak ibu sudah melayang.”
“Jadi..”
“Iya bu.. Jadi selama ini anak ibu mengidap penyakit kronis yang tak diketahui. Kista endometriosis. Gangguan pada dinding rahimnya, atau endometriumnya. Sewaktu ia datang pertama kali di sini, ibu berkata bahwa memang setiap bulan, sebelum ia datang bulan pasti merasa sakit di perut bagian bawahnya bukan? Itu karena ada kista di rahimnya bu.. Namun entahlah, mengapa kista itu dapat pecah, belum diketahui sebabnya.”
Ibu itu hanya bisa menundukkan kepalanya, sesenggukkan, menangis.
“Ia kasihan bu.. Setiap bulan ia pasti merasakan rasa sakit yang dahsyat. Yang lebih kasihannya lagi, ia masih kecil bu.. Ia masih muda.. Terlalu muda untuk melawan penyakit ini. Penyakit berbahaya ini.”
“Sebenarnya ini adalah keputusan yang sangat berat bu. Kami akui, kami memang sedikit bingung dengan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami serba salah bu. Jika dibiarkan saja tentunya sangat berbahaya, karena kasus ini adalah pendarah an di dalam, namun jika kami melakukan tindakan, hanya bisa dengan jalan operasi. Sementara itu, operasi tidak dapat dilakukan dengan hb anak ibu yang rendah, yaitu 5,2. Namun bagaimana lagi bu, untuk menyelamatkan nyawa anak ibu, operasi harus tetap dilakukan untuk mengambil darah tersebut.”
“Bagaimana bu? Jika ibu bersedia anak ibu kami operasi silakan tanda tangan di sini. Namun ibu harus berani mengambil resiko apapun. Salah satunya, resiko terburuk adalah anak ibu tidak bangun lagi setelah kami bius. Sehingga ibu tidak berhak menuntut kami, karena ibu telah berjanji menerima segala resiko dengan menandatangai surat ini.”
Ku arahkan lagi pandanganku kepada ibu gadis itu.Matanya merah. Hidungnya merah. Menangis ia.

---

Kembali lagi di bangsal 10, yang tampaknya bertambah lagi masanya. Tak lama, terdengar suara langkah kaki, berjalan terburu – buru, memasuki ruangan sakral tersebut. Ibunya, telah kembali. Seperti kondisi tadi, matanya merah, dengan air mata yang sudah meleleh, yang sudah tak bisa terbendung lagi. Ia langsung memeluk wanita sepantarannya yang berdiri di situ, yang tadi sudah datang lebih dulu. Mereka menangis. Entah apa yang mereka tangiskan. Ku arahkan pandangan mataku ke arah gadis itu. Ia juga menangis. Namun aku tak tahu mengapa mereka menangis. Dan aku tahu, gadis itu pun menangis bukan karena tahu duduk persoalannya, namun karena ia melihat kedua wanita itu menangis. Aku tahu, karena gadis itu bertanya, “Bu.. Ada apa sih bu? Kenapa ibu nangis?”
Akhirnya masuk perawat membawakan peralatan-peralatan khasnya. Dan sesaat kemudian, si gadis telah berganti dengan baju warna hijau, dan dengan tempat tidurnya, ia dibawa keluar ruangan diikuti orang – orang yang tadi berada di dalam ruangan bangsal.
Kereta dorong itu berbelok di depan ruangan berwarna putih bertuliskan RUANG OPERASI besar di atas pintunya.
“Maaf pak, bu, silakan tunggu di luar ruangan.”

---

Beberapa jam kemudian, pintu itu terbuka. Orang – orang di luar tadi termasuk kedua orang tuanya menyambutnya. Gadis itu masih belum tersadarkan. Tapi begitu lebih baik kukira, daripada dia harus merasakan sakit yang teramat sangat.
Namun, sampai saat ini, sudah setengah jam setelah gadis itu keluar dari ruang operasi. Kedua orang tuanya menjadi khawatir. Namun ia tetap sabar menunggu. Hampir di setiap waktu solat mereka solat tepat waktu dan berjamaah. Mereka menengadahkan tangan bersama, berdoa bersama, memohon dengan segala kerendahan hati mereka, dan menitikkan air mata bersama.
“Ya Allah.. Jika Engkau masih menghendaki dia menjadi anak kami, sadarkan ia, bangunkan ia dari tidurnya, sembuhkanlah segala penyakitnya, lenyapkan penyakitnya itu, berikanlah ia nikmat sehat seperti orang-orang yang lain ya Allah. Berikanlah ia kekuatan untuk menahan rasa sakitnya, berkanlah ia kekuatan untuk berjuang melawan penyakit itu. Allah.. Jika kami boleh meminta, biarlah kami saja yang menanggung penyakitnya itu. Agar ia bisa bermain lagi, bisa belajar lagi.. Kami tak sanggup lagi melihat ia kesakitan di setiap bulannya. Kami tak tega melihat ia menahan sakitnya dengan tubuh kecilnya. Terlalu banyak air mata yang kami keluarkan ya Allah… “
“Ya Allah, namun jika Engkau akan mengambilnya, kami berusaha untuk ikhlas ya Allah.. Karena kami tak berhak atas anak kami… Ia hanya titipan dari-Mu, ia milikmu sesungguhnya, seutuhnya. Ampuni kami jika kami belum bisa menjadi orang tua yang baik.. Ya Allah, jika Engkau benar-benar menghendakinya, ambil ia dengan cara yang baik-baik, yang tak menyakitinya ya Allah.. Berikanlah yang terbaik untuk anak kami, untuk kami ya Allah.. Sesungguhnya Engkau yang Maha Mengetahui mana yang terbaik. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.. Engkau Maha Penyayang, Maha Cinta, cinta-Mu tiada akhir. Cintai ia ya Allah..“
Andai gadis itu mendengarnya, ia pasti menangis, haru, dan bersemangat untuk sembuh, untuk bangkit.

---

Sudah lebih daari satu jam. Seorang perawat wanita berpakaian putih dan berjilbab masuk ke ruangan itu.
“Bagaimana bu? Belum sadar juga?”
“Belum mbak.. Dari tadi masih gini-gini aja..”
Aku teringat perkataan yang diucapkan oleh dokter tadi siang, resiko terburuk adalah anak ibu tidak bangun lagi setelah kami bius.
Perawat itu meraba pergelangan tangan anak itu. Ganti tangan yang satunya.
Oh, tidak, apakah anak ini memang sudah meninggal?
Lalu ia tempelkan jari telunjuknya ke depan lubang hidungnya. Entahlah. Wajah perawat itu panik.
Apa memang dalam tubuh kurus ini tak ada nyawanya lagi?
Melihatnya, wajah kedua orang tua anak itu pun panic, khawatir, was-was, takut, bingung, sedih, kecewa, semua berbaur bersatu yang tak bisa diungkapkan.
Apakah Allah telah mengambilnya?
Oh..
Ku lihat perawat itu memanggil teman sesama perawat menggunakan telepon yang ada di kamar itu.
“Eh, mas ke kamar 10 coba. Pasien atas nama Abita Salsabila…”
Perbincangannya belum usai, namun aku tertegun mendengar namanya. Abita Salsabila. Nama yang taka sing. Nama yang familiar. Hah? Apa? Itu namaku! Benar, sungguh itu namaku. Tapi..
Ku lihat papan nama yang tertera di tempat tidur gadis itu. Tertera dengan sangat jelas, ABITA SALSABILA. Nama anak itu sama dengan namaku. Tapi.. Bagaimana mungkin, nama kita sama.
Oh, tidak! Aku keliru! Nama kita tidak sama! Tapi satu!
Gadis yang terbaring itu adalah aku! Ya Aku! Akulah gadis itu! Abita Salsabila.
Lalu kenapa aku di sini? Bukan tempatku di sini.
Terdengar suara pintu terbuka. Perawat itu sudah datang. Oh, tidak, aku harus kembali.
Tepat ketika perawat pria itu menyentuh pergelangan tangan gadis itu, akan memeriksa denyut nadinya, gadis itu berhasil berjuang membuka matanya..
“Allah..”
---

Jumat, 20 Januari 2012

Desain Pin

Diposting oleh nuratnamukti di 22.14 0 komentar
Special untuk keluarga Departemen Pers dan Humas KAMMI Teknik UNDIP 2011
terimakasih telah menjadi keluarga, partner kerja yang baik.

bagaimana dengan desain pin nya? hehe..





Rabu, 18 Januari 2012

Semangat Sehat

Diposting oleh nuratnamukti di 18.56 0 komentar
endometriosis. ya kini aku bisa mengejanya dengan cepat dan lancar. kata dengan enam suku kata ini familiar sudah di telingaku. tapi aku sempat sensitif jika mendengar kata ini lagi. aku ingat ketika aku pertama kali membaca kata ini di laporan hasil cek laboratoriumku. en-do-me-tri-o-sis. penyakit macam apa pula itu. endometriosis berasal dari kata endometrium dan sis. sis adalah penyakit. endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempat menempelnya ovum pada sel yang dibuahi (gilak, keren yaa, anak teknik ngerti yang beginian) ---> bego, kalo mau tau begituan search aja di mbah google, banyaak. kembali lagi ke topik. jadi endometriosis itu penyakit yang menyerang lapisan endometrium wanita. bahwa jaringan endometrium tumbuh di tempat lain, seperti otot rahim, saluran telur, dan lain-lain. (lagi-lagi, ini hasil googling). jadi endometriosis tersebut termasuk penyakit kista pula. kalau kata yang ini (kista) sudah pernah aku dengar sejak SMP. aku tak ingin menuliskan semua tentang endometriosis, atau menuliskan semua yang aku rasakan, atau menuliskan bagaimana aku menahan rasa sakit yang dahsyat itu. tidak. aku tidak ingin mengingat itu kembali sebenarnya.
dan lagi. kata - kata ini terngiang kembali di telingaku. hari ini aku kembali melakukan pemeriksaan evaluasi kista endometriosisku (kata kepemilikan -ku sebenarnya sangat tidak ingin aku tulis di sini). rumah sakit. ya, aku ke rumah sakit umum pusat karyadi. bukan keinginanku. sama sekali bukan. kalau aku boleh berpendapat, aku sebenarnya tidak ingin berurusan lagi dengan rumah sakit, apalagi dengan dokter, lebih - lebih dokter spesialis kandungan! tapi, ya, aku masih ingin sembuh. aku lelah sakit. sakit itu nggak enak (yaiyalah, kalo sakit enak, banyak dong yang pingin sakit!)
yah, akhirnya aku besarkan hati ini, aku tenangkan jiwaku, aku langkahkan kaki ini ke rumah sakit. tak berubah. sama. kista endometriosis ini tetap ada. bohong sekali jika aku tidak bersedih. bohong sekali jika aku bilang aku tidak ingin menangis. sambil masih berbaring di tempat tidur d ruang pemeriksaan USG, sebulir air mata keluar di pelupuk mataku. namun aku ingin kelihatan tegar. aku tak ingin dipandang lemah. segera kuhapus air mata itu. aku kuat. toh juga sudah biasa kok :)
terkadang aku berfikir, kenapa aku? ada apa denganku? kenapa aku yang terkena musibah ini? dan kenapa harus endometriosis? tapi aku sadar, semua orang diuji dengan berbagai macam ujian. ada yang penyakit, ada yang masalah keluarga, masalah hati, dan sebagainya. ya, mungkin memang penyakit ini adalah ujian untukku. mungkin sakit ini adalah caraku untuk bisa lebih dekat dengan Allah.

aku yakin Allah telah memilihkan ujian ini sesuai dengan kemampuanku.
karena aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya.
semangat sehat..
karena aku yakin, aku tak sendiri.
insyaAllah masih ada yang membutuhkan keberadaanku.
ada orang tuaku dan saudara - saudaraku yang pasti menungguku sukses.
ada teman - teman yang kiranya masih merindukan tawa ceriaku.
semangat sehat, bismillah.
Aku tak sendiri. Ada Allah. Sang Kuasa. Yang Maha Menyembuhkan.

Senin, 23 Januari 2012

Perubahan Itu Indah

Diposting oleh nuratnamukti di 20.52 0 komentar

Pukul 08.00 waktu jam tangan ku. Ku langkahkan kakiku menuruni tangga kecil dari dalam bis menuju ke aspal hitam di kota impianku. Kuucapkan terima kasih pada bus yang aku tumpangi selama kira-kira 4-5 jam lamanya. Tentunya dalam hati, tak mungkin lah aku mengucapkan terima kasih pada benda mati, apalagi bus ekonomi yang tua ini. Nanti banyak orang berfikir aku lebay, bahkan gila. Oh, tidak!
Tersenyum bangga aku ketika melangkahkan kakiku di sini. Di tempat pemberhentian bis di kota harapanku ini. Kota yang akan ku tinggali selama beberapa tahun ke depan nantinya. Kota dimana aku akan menuntut ilmu, menimba segala pengetahuan, menggali seluruh pengalaman, dan merajut semua harapan, impian, mimpi-mimpi, asa dan cita-cita. Kota yang berperan sebagai pintu gerbang keberhasilanku nanti. Welcome to Semarang.
Aku bangga, karena akhirnya aku bisa sampai di sini dengan selamat. Walaupun pada awalnya banyak yang meragukanku.
“Udah deh Medina, ibu temenin ya..” bujuk ibu.
“Nggak usah lah bu.. Ibu kan udah nemenin Medi waktu ngurus ini ngurus itu. Sekarang biarin Medi sendiri ya bu? Medi kan udah gede, udah jadi mahasiswa, mau nggak mau Medi harus mandiri dong.. Kapan Medi mau mandiri kalau ibu ngawasin Medi terus, ngikutin Medi terus. Masa mau sih semur hidup ditemenin ibu terus. Nggak dong bu.. hehe..“ Aku kan udah mahasiswa, malu lah kalau harus ditemenin ibu.
“Ah kau ini, mahasiswa baru juga udah berasa jadi mahasiswa lama aja..”
“Maksud ibu gimana? Kan emang Medi tu udah jadi mahasiswa. Kan Medi emang udah diterima jadi mahasiwa..”
“Iya deh Medina anakku sayang.. Tapi kan kamu besok ospek, kalau repot, butuh ini butuh itu, suruh ini suruh itu, bisa sendiri nih? Yakin nggak perlu bantuan ibu?”
“Yaa.. Insyaallah bisa. Ibu bantu doa aja ya bu..”
Begitulah, ibu terlalu mengkhawatirkanku. Selalu menggapku seperti anak kecil saja. Maklum aku memang anak terkecil di keluargaku, pantas saja ibu memperlakukanku begitu. Tapi aku sudah bosan diperlakukan seperti itu terus.
Akhirnya dengan ijin kedua orang tuaku, aku pun berangkat ke Semarang seorang diri. Alhamdulillah aku masih dilindungi Allah, sehingga aku masih bisa selamat tanpa kurang satu pun.
Dan kini, aku disambut oleh patung kuda bertuankan Pangeran Diponegoro, dan di atasnya tertulis UNIVERSITAS DIPONEGORO. Yap, kawan.. Aku sekarang menjadi mahasiswa baru Universitas Diponegoro Semarang, Fakultas Teknik, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.

{{{

Allahu akbar Allahu akbar..
Gema adzan shubuh telah berkumandang memanggil-manggil. Ku sudah terjaga sejak jam tiga tadi. Ya, aku tadi shalat malam, qiyamul lail. Kalau Ziya dan Hera–– dua sahabat sejatiku sejak SMA –– tahu pasti mereka shock. Biasanya shalat shubuh aja aku jam enam. Bagaimana mungkin bisa bangun jam tiga untuk shalat tahajud? Haha.. Aku saja heran dengan perubahanku ini.
Semua ini berawal dari tempat ini. Ya, rumah kos ini. Sepertinya aku telah terjerumus di jalan yang lurus dan terdampar di jalan yang benar. Ketika aku mencari kos-kosan, aku benar-benar tak tahu dan tak mengira bahwa tetangga kamarku adalah tipe-tipe ‘anak rohis’. Bayangkan saja, dari 10 anak yang ngekos di kosan ini, semuanya berjibab, kecuali aku. Dan 6 dari 10 anak itu menutupi kepalanya dengan jilbab yang lebar, tebal, bahkan kadang dobel. Lekukan tubuh mereka terbungkus pakaian rapi, panjang, dan longgar. Ia menutupi bentuk kakinya dengan selalu menggunakan rok. Mereka juga tak tanggung-tanggung menutupi kakinya dengan kaos kaki. Hanya wajah dan telapak tangan mereka yang nampak, sama seperti perintah Allah dalam al-quran yang sering kudengar, namun masih sulit kulaksanakan.
Awalnya aku menganggap mereka aneh, mereka menurutku memiliki aliran tertentu yang sesat yang saat ini sedang menjadi trend pada berita – berita nasional. Namun lama kelamaan, aku tak memedulikan itu. Karena sifat mereka begitu baik kepada ku dan kepada tetangga – tetangga kosku semua, serat tak ada satupun dari mereka yang mencurigakan.
Hingga pernah suatu hari, aku bangun kesiangan. Aku keluar kamar dengan sangat terburu-buru, dengan menampakkan wajah panik.
“Ada apa Medina? Kayaknya panik banget?” tegur Kak Isha, kakak berjilbab lebar yang kamarnya berada di sebelah kiriku.
“Iya Kak, aku hampir telat nih kuliahnya, tadi bangun kesiangan..” jawabku tanpa menoleh sedetik pun ke wajah ayu Kak Isha.
“Mau aku anterin? Sekalian aku juga mau ke kampus..” wah, dia menawarkan bantuan yang benar-benar sangat-sangat aku butuhkan.
“Tapi Kak, kampusku kan lebih jauh dari kampus kakak. Lagipula Kak Isha nggak buru-buru?” jawabku basa-basi.
“Nggak apa apa. Kakak nggak buru-buru kok. Ini bukan mau kuliah kok, ada syuro’ rohis. Udahlah ayo, ikut Kakak. Ntar telat lho..”
Aku diantar sampai depan kampus. Lalu Kak Isha memutar balikkan motor matic warna pink-nya. Hingga akhirnya, aku tak perlu naik angkot yang lelet itu.
Tak hanya itu dan tak hanya dia. Suatu ketika Kak Arsi –– kakak yang kamarnya persis berada di depanku–– mendapatiku sedang memegang perutku dengan tampang meringis kesakitan.
“Lho Med, kenapa to?” sapanya.
Aku sebenarnya sangat malas untuk menjawab pertanyaan itu. Namun kupaksa menjawabnya. “Maag Kak..” Setelah Kak Arsi menanya-nanyaiku layaknya dokter, ia pergi meninggalkanku dan masuk kembali ke dalam kamarku dengan semangkuk bubur ayam yang masih hangat.
“Ayo dimakan dulu Med, biar perutmu nggak sakit. Eh, tapi sebelum makan, kamu minum obat ini dulu ya?” katanya seraya menyodorkan satu tablet obat berwarna hijau muda itu. Dia memang bukan anak kedokteran, namun tampaknya ia lebih cekatan daripada dokter ynag sering kujumpai.
Itu hanya beberapa kebaikan mereka, masih banyak lainnya. Hingga suatu saat, Kak Isha melihatku sedang termenung dan sedikit menangis. Ia menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di pundakku.
“Kamu kenapa Med?” tanyanya ramah.
Aku tak mau mengatakannya. Aku malu. Karena tangisanku adalah tangisan rinduku pada ibu. Aku kan sudah mahasiswa, malu lah aku untuk mengakuinya.
“Ayolah, ceritakan pada kakak. Siapa tahu kakak bisa bantu, kalaupun kakak nggak bisa bantu, setidaknya bebanmu lebih berkurang. Itu sih menurut kakak.”
Benar juga sebenarnya apa yang Kak Isha bilang. Namun aku masih malu untuk menceritakannya. Dan aku hanya bisa menggeleng dengan senyuman yang dapat diartikan Aku baik-baik saja Kak, terima kasih..
“Ya sudah lah, jika kamu masih sungkan mengatakannya pada kakak. Tapi kamu punya Allah. Ia yang selalu ada dimana pun dan kapan pun kamu berada, Dia Maha Tahu, Dia Maha Melihat, Maha Mendengar. Kalau kamu punya masalah yang mungkin susah untuk menceritakannya pada orang lain, maka curhat saja pada Allah. Dia pasti membantu. Hatimu pasti lebih tenang, bebanmu lebih ringan. Coba saja. Okey Medina?” saran Kak Isha bijak.
Haha, aku aneh saja mendengarnya. Curhat sama Allah? Belum pernah aku curhat sama Allah. Tapi apa salahnya kau coba. Dan saat ini, sudah beberapa kali ‘ritual’ itu aku lakukan. Aku kerap menangis setelah solat. Entah apa yang membuatku menangis. Mungkin kerinduanku dengan kampung halaman, dengan kedua orang tuaku, atau karena mungkin aku telah banyak melakukan dosa sehingga aku merasa amat sangat bersalah ketika menghadap Allah. Namun satu yang kurasakan, aku telah menemukan teman curhat. Bahkan lebih dari sekedar teman curhat, tapi sahabat, penolong, segalanya. Aku baru merasakan hal seperti ini, dekat dengan Allah. Sesuatu yang jarang aku rasakan sebelumnya.
Benar juga apa yang dikatakan Kak Isha, hatiku merasa lebih tenang, lebih ringan, lebih ikhlas. Allah sekarang menjadi sahabat terbaikku. Sedikit demi sedikit aku benar – benar berubah haluan.

{{{

Tiba – tiba handphone Nokia E63 ku berdering. Ada sms.

“Medi, udah bangun blm? Solat shubuh.”

Sms dari ibuku. Kuketik deretan huruf dalam ponselku.

“Iya, udh bu. Udah bangun dari tadi. Ni baru selese solat..”

Pesan terkirim. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi ibuku saat membaca sms dariku. Berdering lagi ponselku. Ku klik open.

“Alhamdulillah..”

Hee, ibuku benar – benar lembut, tidak lebay seperti aku. Hmmm, aku menjadi kangen denganmu, ibu. Kapan aku pulang untuk bertemu ibu. Selain di kampus banyak kegiatan, aku pun belum punya dana  untuk pulang.
Rasanya sempurna sekali aku saat ini. Aku merasa lebih dekat dan cinta dengan Penciptaku dan kepada kedua orang tuaku.
“Dek, udah bangun belum? Solat…” Aku tahu itu suara Kak Isha. Dia rajin mengingatkanku untuk bangun solat shubuh. Karena suatu waktu yang lalu, aku pernah bercerita pada Kak Isha bahwa aku jarang bangun tepat waktu untuk sholat shubuh. Itulah, Kak Isha rajin membangunkanku.
“Iya Kak udah kok..” Aku membukakan pintu untuknya.
“Baguslah.. Udah mulai rajin kan sekarang?” Tanyanya ramah.
“Sebenarnya kalau ada tempat lebih lapang kita bisa gunakan untuk sholat berjamaah ya? Namun sayang, tak ada. Tapi sebenernya kalau dimepet-mepetin kamar kita cukup buat solat dua orang sih.. Kalau ada kesempatan sholat berjamaah, sholat berjamaah bareng kakak aja yaa.. Bisa di kamar kakak, atau di kamarmu.. Sholat berjamaah kan lebih baik daripada sholat sendiri. Pahalanya lebih banyak, 27 lho.. hehee..”
“Oh.. iya kak..”
Mulai dari saat itu, jika ada kesempatan untuk sholat berjamaah, aku sholat berjamaah. Tak hanya di kos-kosan ini, namun juga di kampus, atau dimanapun aku berada.

{{{

“Dek, lagi sibuk ngga? mau ikut kita nggak?” Ajak Kak Isha di suatu sore yang teduh, dia mengetuk pintuku dengan pelan.
“Kemana kak?” Ku buka pintu kamarku. Dan kulihat ada Kak Isha, Kak Arsi, dan Kak Dini di depan pintuku. Sudah rapi.
“Kita mau kajian dek, di Masjid Kampus. Ikut yuk. Daripada di kos sendirian lho..” Jawab Isha.
“Emang kalo kakak-kakak pergi, di kos ini tinggal aku doang mbak?”
“Iya, Dek.. Yang lain tadi udah pada pergi..”
“Emang kajian apaan si mbak?”
“Ya kajian rutin dek. Tapi yang ngisi kajian itu dari mahasiswa juga kok. Jadi kan materinya itu kita banget. Gimana?”
“Yaudah deh.. Aku ikut. Aku ganti baju dulu ya.” Aku menutup pintuku, karena akan berganti pakaian. Ketika kau membuka lemariku, gerakku terhenti, dan aku berpikir. Lalu kubuka lagi pintu kamarku.
“Kak, berarti kau pake jilbab dong?” tanyaku.
Mereka bertiga hanya tersenyum, yang dapat kudefinisikan sebagai iya adekku sayang…
“Hmm.. okelah kalau begitu. Aku punya jilbab kok. Sebentar ya Kak..”
Cukup lama aku membuat mereka menunggu. Ya aku kan harus menggunakan jilbabku dengan rapi..
“Wah, cantik sekali Medina..” puji Kak Siti ketika melihatku keluar kamar dengan pakaian panjang dan jilbab. Aku hanya tersipu malu.
“Gini dong, baru namanya Medina.. hehe.. yuk yuk berangkat. 30 detik lagi kajiannya mulai nih.. “ Kita tersenyum simpul. Kak Arsi bisa bercanda ternyata, walau sedikit garing, hehe.
Haha, mimpi apa aku semalam? Sampai aku bisa jalan bareng akhwat – akhwat ini? Yap, kini aku sudah mulai kenal istilah akhwat. Tapi aku sedikit malu berjalan bersama mereka. Aku tak seanggun mereka, dengan kaos dan celana jeans ketat. Sangat berbeda dari mereka. Namun setidaknya aku telah memakai jilbabku walaupun tipis dan mini.
Walaupun begitu aku betah berada lama bersama mereka dan teman-teman mereka, aku betah mengenakan jilbab di kepalaku, sungguh! Aku tak merasakan kegerahan atau apapun itu. Apa mungkin karena ini adalah sore yang sejuk? Atau hatiku yang mulai sejuk? Entahlah..

{{{
Pukul 07.20.
Aku ada kuliah pukul 08.00. Aku sudah mandi, sudah sarapan. Masih ada waktu cukup lama untuk berdandan. Aku mematut diri di depan cermin. Tiba-tiba pandanganku mengarah ke jilbab segi empat yang kupakai kemarin sore. Aku coba memakainya, menyerasikannya dengan kemeja ku. Ternyata warnanya pas sekali. Tiba-tiba, aku berniat memakai jilbab ke kampus. Tapi.. Ah sudahlah, aku sudah dewasa. Aku sebenarnya tahu karena menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Ok!
Aku berjalan dengan sangat percaya diri menelusuri jalan di kampus. Yap, Aku memakai jilbab sekarang!
Sungguh, aku sangat menikmati perubahanku sekarang. Perubahan itu datang secara tak kita sadari dari tempat yang tak terduga dan waktu yang tak kita tahu. Perubahan itu datangnya tiba-tiba, namun perlahan dan pasti, dan satu hal lagi, perubahan itu indah.

Cintamu Tiada Akhir

Diposting oleh nuratnamukti di 20.45 0 komentar
          Gadis berusia 16 tahun itu tergolek lemah di tempat tidur bersprei hijau di bangsal nomor 10. Tubuhnya yang kurus tampak lebih kurus dengan selang – selang yang membelit tubuhnya. Terlihat selang infuse di pergelangan tangan kanannya, selang oksigen yang mendatar diantara hidung dan mulutnya, dua selang yang tampak di bawah selimut, yang aku tak yakin itu apa. Satunya berwarna merah kehitaman, yang satunya cairan kuning yang kurasa itu urine.
Di sebelahnya kulihat seorang ibu, mungkin ibunya. Ia dengan ikhlas menunggui gadis pesakitan itu. Bacaan alqurannya yang fasih menggema ke seluruh sudut ruangan kecil itu, yang membuat pendengarnya merasa tenteram dan damai. Disampingnya terbaringlah seorang lelaki dewasa di sofa. Ia nampak kelelahan, mungkin ayahnya yang kelelahan mondar – mandir mengurus ini mengurus itu, ke sana ke sini.
Ku arahkan lagi pandanganku ke gadis itu. Kulitnya pucat, matanya terpejam, ia tertidur, namun tampak tenang. Padahal status dia adalah pesakitan. Ku geser lagi bola mataku ke arah wanita di sampingnya itu. Terkadang tampak air mata di ujung matanya, namun segera dihapus dengan jarinya, seakan malu jika aku meilhat. Ku geser lagi ke arah lelaki yang sedang berbaring di sofa itu, masih tidur, terkadang mendengkur.
Sebuah keluarga. Ya, aku yakin, itu sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang harmonis.
Aku ingat saat kemarin gadis ini tak setenang kali ini. Di pertengahan malam, saat dini hari, ia terbangun, menjerit, kesakitan, lalu diam, dan jatuh. Pingsan. Ia terbangun lagi, merasa sakit yang amat dahsyat, lalu jatuh pingsan lagi. Kedua orang tua yang sekarang menemaninya tampak kewalahan, kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya bisa memanggil perawat yang berjaga. Mereka hanya bisa menangis, berdoa pada yang Kuasa. Kedua orang tua tersebut tak dapat tidur, pandangan dan perhatiannya tak dapat lepas dari gadis kurus nan lemah ini. Bahkan aku ingat, gadis itu mengeluarkan cairan agak kental berwarna merah kehitaman atau hitam kemerahan, tak jelas, dari mulutnya. Tak hanya sesekali, namun berkali-kali, lebih dari dua kali. Ketiga kalinya, baru ku menyadari. Itu darah. Ya, darah keluar dari mulutnya. Ia muntah darah! Sungguh, kasihan sekali gadis itu. Ia begitu tak berdayanya. Aku rasa dia telah pasrah jika saat itu juga Allah Yang Kuasa mengambil jiwa dari raganya.
Namun, kali ini, detik ini, mereka –– orang-orang tua ini, para perawat ––tampak sedikit lebih lega dari tadi malam. Lelaki dewasa ayahnya itu buktinya, sudah bisa tidur dengan tenang. Tak ada perawat yang datang karena panggilan. Mereka hanya datang sesekali untuk mengecek keadaan anak itu, atau memberi obat, atau mengganti infuse, atau mengukur tensinya.
Sekali lagi, berbeda dengan beberapa hari yang lalu. Ketika gadis itu baru saja menjadi penghuni sementara ruangan ini. Tak hanya perawat, namun dokter berganti-gantian keluar masuk ruangan ini. Tersirat di dahi mereka, bahwa mereka sedang berfikir. Atau apalah yang sedang dipikirkan seorang dokter itu. Banyak pula perawat – perawat yang mengajaknya keluar, walau tubuh gadis itu sangat lemah. Ia didorong keluar kamar, secara pelan dan tampak berhati-hati. Bukan. Ia bukan akan diajak jalan – jalan ternyata. Mereka memasuki ruangan bertuliskan radiologi dengan cat hitam pada papan putih di atas pintu kayunya. Di dalamnya, ia dimasukkan lagi ke ruang untuk rontgen ku kira. Tak lama, terlihat mereka keluar. Namun kembali memasuki ruangan. Kali ini ruangannya lebih kecil. Bertuliskan USG.
Setengah jam kemudian ku lihat gadis itu sudah terbaring lagi di kamarnya. Ku lihat sekeliling. Tak ada dua orang dewasa yang biasa menungguinya dengan setia. Kemana mereka? Kulihat ada sepasang lelaki dan wanita memasuki ruangan ini. Namun mereka bukan orang tuanya, bukan dua orang yang biasa menungguinya. Entahlah siapa. Aku ingat, sang wanita bertanya pada gadis itu. “Lho adek sendirian?”. Aku juga masih bisa mengingat suara kecil gadis kecil itu, “Iya..”
Di waktu yang sama, ku langkahkan kakiku melacak keberadaan orang tua gadis itu. Ku dapati ibunya duduk di hadapan beberapa orang berpakaian putih, aku sangat yakin bahwa mereka adalah tim medis. Dokter dan para perawatnya.
“Jadi bu, dalam perut anak ibu ada cairan yang saya prediksikan adalah darah. Kami memprediksikan bahwa cairan itu berasal dari kista yang telah pecah bu. Jika dibiarkan terus akan bertambah banyak, sehingga HB anak ibu akan turun. Jika dibiarkan bukannya tak mungkin nyawa anak ibu sudah melayang.”
“Jadi..”
“Iya bu.. Jadi selama ini anak ibu mengidap penyakit kronis yang tak diketahui. Kista endometriosis. Gangguan pada dinding rahimnya, atau endometriumnya. Sewaktu ia datang pertama kali di sini, ibu berkata bahwa memang setiap bulan, sebelum ia datang bulan pasti merasa sakit di perut bagian bawahnya bukan? Itu karena ada kista di rahimnya bu.. Namun entahlah, mengapa kista itu dapat pecah, belum diketahui sebabnya.”
Ibu itu hanya bisa menundukkan kepalanya, sesenggukkan, menangis.
“Ia kasihan bu.. Setiap bulan ia pasti merasakan rasa sakit yang dahsyat. Yang lebih kasihannya lagi, ia masih kecil bu.. Ia masih muda.. Terlalu muda untuk melawan penyakit ini. Penyakit berbahaya ini.”
“Sebenarnya ini adalah keputusan yang sangat berat bu. Kami akui, kami memang sedikit bingung dengan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami serba salah bu. Jika dibiarkan saja tentunya sangat berbahaya, karena kasus ini adalah pendarah an di dalam, namun jika kami melakukan tindakan, hanya bisa dengan jalan operasi. Sementara itu, operasi tidak dapat dilakukan dengan hb anak ibu yang rendah, yaitu 5,2. Namun bagaimana lagi bu, untuk menyelamatkan nyawa anak ibu, operasi harus tetap dilakukan untuk mengambil darah tersebut.”
“Bagaimana bu? Jika ibu bersedia anak ibu kami operasi silakan tanda tangan di sini. Namun ibu harus berani mengambil resiko apapun. Salah satunya, resiko terburuk adalah anak ibu tidak bangun lagi setelah kami bius. Sehingga ibu tidak berhak menuntut kami, karena ibu telah berjanji menerima segala resiko dengan menandatangai surat ini.”
Ku arahkan lagi pandanganku kepada ibu gadis itu.Matanya merah. Hidungnya merah. Menangis ia.

---

Kembali lagi di bangsal 10, yang tampaknya bertambah lagi masanya. Tak lama, terdengar suara langkah kaki, berjalan terburu – buru, memasuki ruangan sakral tersebut. Ibunya, telah kembali. Seperti kondisi tadi, matanya merah, dengan air mata yang sudah meleleh, yang sudah tak bisa terbendung lagi. Ia langsung memeluk wanita sepantarannya yang berdiri di situ, yang tadi sudah datang lebih dulu. Mereka menangis. Entah apa yang mereka tangiskan. Ku arahkan pandangan mataku ke arah gadis itu. Ia juga menangis. Namun aku tak tahu mengapa mereka menangis. Dan aku tahu, gadis itu pun menangis bukan karena tahu duduk persoalannya, namun karena ia melihat kedua wanita itu menangis. Aku tahu, karena gadis itu bertanya, “Bu.. Ada apa sih bu? Kenapa ibu nangis?”
Akhirnya masuk perawat membawakan peralatan-peralatan khasnya. Dan sesaat kemudian, si gadis telah berganti dengan baju warna hijau, dan dengan tempat tidurnya, ia dibawa keluar ruangan diikuti orang – orang yang tadi berada di dalam ruangan bangsal.
Kereta dorong itu berbelok di depan ruangan berwarna putih bertuliskan RUANG OPERASI besar di atas pintunya.
“Maaf pak, bu, silakan tunggu di luar ruangan.”

---

Beberapa jam kemudian, pintu itu terbuka. Orang – orang di luar tadi termasuk kedua orang tuanya menyambutnya. Gadis itu masih belum tersadarkan. Tapi begitu lebih baik kukira, daripada dia harus merasakan sakit yang teramat sangat.
Namun, sampai saat ini, sudah setengah jam setelah gadis itu keluar dari ruang operasi. Kedua orang tuanya menjadi khawatir. Namun ia tetap sabar menunggu. Hampir di setiap waktu solat mereka solat tepat waktu dan berjamaah. Mereka menengadahkan tangan bersama, berdoa bersama, memohon dengan segala kerendahan hati mereka, dan menitikkan air mata bersama.
“Ya Allah.. Jika Engkau masih menghendaki dia menjadi anak kami, sadarkan ia, bangunkan ia dari tidurnya, sembuhkanlah segala penyakitnya, lenyapkan penyakitnya itu, berikanlah ia nikmat sehat seperti orang-orang yang lain ya Allah. Berikanlah ia kekuatan untuk menahan rasa sakitnya, berkanlah ia kekuatan untuk berjuang melawan penyakit itu. Allah.. Jika kami boleh meminta, biarlah kami saja yang menanggung penyakitnya itu. Agar ia bisa bermain lagi, bisa belajar lagi.. Kami tak sanggup lagi melihat ia kesakitan di setiap bulannya. Kami tak tega melihat ia menahan sakitnya dengan tubuh kecilnya. Terlalu banyak air mata yang kami keluarkan ya Allah… “
“Ya Allah, namun jika Engkau akan mengambilnya, kami berusaha untuk ikhlas ya Allah.. Karena kami tak berhak atas anak kami… Ia hanya titipan dari-Mu, ia milikmu sesungguhnya, seutuhnya. Ampuni kami jika kami belum bisa menjadi orang tua yang baik.. Ya Allah, jika Engkau benar-benar menghendakinya, ambil ia dengan cara yang baik-baik, yang tak menyakitinya ya Allah.. Berikanlah yang terbaik untuk anak kami, untuk kami ya Allah.. Sesungguhnya Engkau yang Maha Mengetahui mana yang terbaik. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.. Engkau Maha Penyayang, Maha Cinta, cinta-Mu tiada akhir. Cintai ia ya Allah..“
Andai gadis itu mendengarnya, ia pasti menangis, haru, dan bersemangat untuk sembuh, untuk bangkit.

---

Sudah lebih daari satu jam. Seorang perawat wanita berpakaian putih dan berjilbab masuk ke ruangan itu.
“Bagaimana bu? Belum sadar juga?”
“Belum mbak.. Dari tadi masih gini-gini aja..”
Aku teringat perkataan yang diucapkan oleh dokter tadi siang, resiko terburuk adalah anak ibu tidak bangun lagi setelah kami bius.
Perawat itu meraba pergelangan tangan anak itu. Ganti tangan yang satunya.
Oh, tidak, apakah anak ini memang sudah meninggal?
Lalu ia tempelkan jari telunjuknya ke depan lubang hidungnya. Entahlah. Wajah perawat itu panik.
Apa memang dalam tubuh kurus ini tak ada nyawanya lagi?
Melihatnya, wajah kedua orang tua anak itu pun panic, khawatir, was-was, takut, bingung, sedih, kecewa, semua berbaur bersatu yang tak bisa diungkapkan.
Apakah Allah telah mengambilnya?
Oh..
Ku lihat perawat itu memanggil teman sesama perawat menggunakan telepon yang ada di kamar itu.
“Eh, mas ke kamar 10 coba. Pasien atas nama Abita Salsabila…”
Perbincangannya belum usai, namun aku tertegun mendengar namanya. Abita Salsabila. Nama yang taka sing. Nama yang familiar. Hah? Apa? Itu namaku! Benar, sungguh itu namaku. Tapi..
Ku lihat papan nama yang tertera di tempat tidur gadis itu. Tertera dengan sangat jelas, ABITA SALSABILA. Nama anak itu sama dengan namaku. Tapi.. Bagaimana mungkin, nama kita sama.
Oh, tidak! Aku keliru! Nama kita tidak sama! Tapi satu!
Gadis yang terbaring itu adalah aku! Ya Aku! Akulah gadis itu! Abita Salsabila.
Lalu kenapa aku di sini? Bukan tempatku di sini.
Terdengar suara pintu terbuka. Perawat itu sudah datang. Oh, tidak, aku harus kembali.
Tepat ketika perawat pria itu menyentuh pergelangan tangan gadis itu, akan memeriksa denyut nadinya, gadis itu berhasil berjuang membuka matanya..
“Allah..”
---

Jumat, 20 Januari 2012

Desain Pin

Diposting oleh nuratnamukti di 22.14 0 komentar
Special untuk keluarga Departemen Pers dan Humas KAMMI Teknik UNDIP 2011
terimakasih telah menjadi keluarga, partner kerja yang baik.

bagaimana dengan desain pin nya? hehe..





Rabu, 18 Januari 2012

Semangat Sehat

Diposting oleh nuratnamukti di 18.56 0 komentar
endometriosis. ya kini aku bisa mengejanya dengan cepat dan lancar. kata dengan enam suku kata ini familiar sudah di telingaku. tapi aku sempat sensitif jika mendengar kata ini lagi. aku ingat ketika aku pertama kali membaca kata ini di laporan hasil cek laboratoriumku. en-do-me-tri-o-sis. penyakit macam apa pula itu. endometriosis berasal dari kata endometrium dan sis. sis adalah penyakit. endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempat menempelnya ovum pada sel yang dibuahi (gilak, keren yaa, anak teknik ngerti yang beginian) ---> bego, kalo mau tau begituan search aja di mbah google, banyaak. kembali lagi ke topik. jadi endometriosis itu penyakit yang menyerang lapisan endometrium wanita. bahwa jaringan endometrium tumbuh di tempat lain, seperti otot rahim, saluran telur, dan lain-lain. (lagi-lagi, ini hasil googling). jadi endometriosis tersebut termasuk penyakit kista pula. kalau kata yang ini (kista) sudah pernah aku dengar sejak SMP. aku tak ingin menuliskan semua tentang endometriosis, atau menuliskan semua yang aku rasakan, atau menuliskan bagaimana aku menahan rasa sakit yang dahsyat itu. tidak. aku tidak ingin mengingat itu kembali sebenarnya.
dan lagi. kata - kata ini terngiang kembali di telingaku. hari ini aku kembali melakukan pemeriksaan evaluasi kista endometriosisku (kata kepemilikan -ku sebenarnya sangat tidak ingin aku tulis di sini). rumah sakit. ya, aku ke rumah sakit umum pusat karyadi. bukan keinginanku. sama sekali bukan. kalau aku boleh berpendapat, aku sebenarnya tidak ingin berurusan lagi dengan rumah sakit, apalagi dengan dokter, lebih - lebih dokter spesialis kandungan! tapi, ya, aku masih ingin sembuh. aku lelah sakit. sakit itu nggak enak (yaiyalah, kalo sakit enak, banyak dong yang pingin sakit!)
yah, akhirnya aku besarkan hati ini, aku tenangkan jiwaku, aku langkahkan kaki ini ke rumah sakit. tak berubah. sama. kista endometriosis ini tetap ada. bohong sekali jika aku tidak bersedih. bohong sekali jika aku bilang aku tidak ingin menangis. sambil masih berbaring di tempat tidur d ruang pemeriksaan USG, sebulir air mata keluar di pelupuk mataku. namun aku ingin kelihatan tegar. aku tak ingin dipandang lemah. segera kuhapus air mata itu. aku kuat. toh juga sudah biasa kok :)
terkadang aku berfikir, kenapa aku? ada apa denganku? kenapa aku yang terkena musibah ini? dan kenapa harus endometriosis? tapi aku sadar, semua orang diuji dengan berbagai macam ujian. ada yang penyakit, ada yang masalah keluarga, masalah hati, dan sebagainya. ya, mungkin memang penyakit ini adalah ujian untukku. mungkin sakit ini adalah caraku untuk bisa lebih dekat dengan Allah.

aku yakin Allah telah memilihkan ujian ini sesuai dengan kemampuanku.
karena aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya.
semangat sehat..
karena aku yakin, aku tak sendiri.
insyaAllah masih ada yang membutuhkan keberadaanku.
ada orang tuaku dan saudara - saudaraku yang pasti menungguku sukses.
ada teman - teman yang kiranya masih merindukan tawa ceriaku.
semangat sehat, bismillah.
Aku tak sendiri. Ada Allah. Sang Kuasa. Yang Maha Menyembuhkan.
 

live and life Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea