“Haah, udah habis?? Astaghfirullah kak..” Aku letakkan buku tebal yang aku
baca sore itu, dan segera berdiri menatap wajah kakakku, yang lebih tua 10
menit dariku. Bisa dibilang kami berdua adalah saudara kembar. Aku geram melihat
kelakuan kakakku ini. Bayangkan, uang satu juta kiriman mama di awal bulan,
sudah habis dalam waktu kurang dari 20 hari saja, entah apa yang ada di
pikirannya.
“Ya, gue kan banyak kebutuhan, Ne..” Jawabnya santai sambil menyulut korek
api pada rokok yang sudah di mulutnya.
“Inne nggak suka kakak ngerokok!” Kataku sambil merebut rokok dan korek
itu, lalu ku lemparkan ke arah tempat sampah yang berjarak 1 meter di sebelah
kiriku. Tepat.
“Udahlah Ne, gue pinjem duit lo dulu
ya. Ya Inne ya, lo kan sodara gue satu-satunya. Iya sih, emang gue bukan ikhwan
yang rajin ngaji kayak temen-temen lo itu, tapi gini-gini gue masih sodara
kembar lo, malah tuaan gue kan.. Masak ngga mau bantuin kakak lo sendiri sih.
Tega lu yee.”
Aku terdiam. Ya dia memang bukan ikhwan seperti kawanku di organisasi-organisasi
yang aku ikuti. Dia jauh berbeda. Dia mahasiswa yang bukan aktivis, bukan juga
mahasiswa study oriented, namun dia
lebih asyik main band daripada
kuliah. Aku sayang sama dia. Tapi aku juga tak mau menjadikan ia selalu
bergantung seperti ini.
“Ne, gue nggak mungkin minta duit mama lagi. Kasihan mama, Ne.. Makanya gue
pinjem lo, ntar awal bulan depan gue balikin deh. Gue ada jadwal manggung akhir
bulan ini.”
“Kak Onni, bukannya Inne ngga mau ngasih pinjeman, tapi Inne nggak mau
kakak kayak gini terus. Oke, sekarang kakak jawab jujur deh, itu uang bulanan
bisa habis cepet banget buat beli apa? Beli rokok? Atau buat pacaran? Kaaak,
Inne udah beberapa kali sih bilang, Inne nggak suka kakak pacaran, ngga ada
untungnya, pacaran kan juga ngga boleh menurut islam. Apalagi rokok, sama aja
bakar duit tau, mana ngga baik buat kesehatan. Kalau kakak kasihan sama mama,
harusnya kakak tau, nggak bakal boros-boros kayak gini lagi..” ucapku masih
dengan ketus.
“Yah, Ne, lo udah main semprot aja, gue belum jawab juga. Engga Ne, udah
gue putusin si Sherly, matre dia, sekarang gue udah nggak pacaran kok, swear deh! Terus, gue ngrokok
kadang-kadang doang, kalo lagi stress ne.. Udah deh beneran. Itu kemaren udah
habis buat beli gitar baru, Ne.. hehe.. Please Inne cantik, hehe..” Jawabnya
sambil memasang muka senyum – senyum aneh.
“Kak, Kakak udah gede, harusnya udah tau prioritas, mana yang penting buat
dibeli, mana yang ngga penting. Kakak udah punya gitar kan? Hufft.. Kakak butuh
duit berapa?”
“Iya, iya deeh.. Lima puluh aja deh..”
Aku buka dompet cokelatku, ku ambil lembaran berwarna biru, yang tak lain
adalah uang lima puluh ribu rupiah. Ku sodorkan ke arah Kak Onni. Ketika Kak Onni
akan meraihnya, aku tarik lagi uang itu, “Eits, tapi ada syaratnya..” Ucapku
sambil tersenyum dan mengangkat satu alisku ke atas.
“Kakak janji ngga boleh ngerokok, dan nggak boleh pacaran.”
“Hmm, oke, gue janji..” jawabnya tanpa pikir panjang. Cepet banget jawabnya, kau pikir ini boongan apa? Ucapku dalam
hati.
“Ya, Inne emang mungkin nggak bisa terus-terusan mata-matai kakak ngrokok
atau engga, pacaran atau engga. Inne pun ngga punya uang buat nyewa mata-mata
untuk memata-matai kakak. Tapi, ingat, ada Allah, Tuhan Inne, Tuhan Kakak juga.”
Ucapku sambil menunjuk dada Kak Onni. “Dia yang mengawasi kakak setiap detik
tanpa pernah luput pengawasannya. Kalau kakak ngrokok atau pacaran, berarti
kakak tidak menepati janji, oke? Oya, Allah tadi
liat loh pas kakak bilang janji. Hehe.. Jadi deal ya, Inne ngasih uang ini ke
kakak, tapi syaratnya kakak ngga boleh ngrokok lagi, dan nggak boleh pacaran
lagi..”
“Hmm.. iye iye deh..”
“Ok, nih uangnya, Inne kasih seratus deh sampe akhir bulan, nggak tega,
hehe..” Kataku sambil menyodorkan selembar uang seratus ribu rupiah kepada Kak Onni.
Seperti yang telah aku ceritakan, Aku dan Kak Onni adalah saudara kembar.
Kami sama-sama mempunyai orang tua yang sama. Bahkan dari TK sampai SMA, kami
bersekolah di tempat yang sama. Dan kini, kami pun sama-sama merantau ke
Jakarta untuk kuliah di universitas yang sama, walaupun jurusan kami berbeda.
Namun selain itu, sebenarnya banyak sekali perbedaan di antara kita berdua.
Jenis kelamin jelas, dia laki-laki, aku perempuan. Hobi juga berbeda, aku suka
membaca, dia suka main musik. Aku cukup aktif berorganisasi di kampus,
sedangkan dia sangat aktif nge-band di studio. Aku suka dengerin nasyid,
sedangkan dia suka dengerin heavy metal.
Pakaianku rapi, berjilbab menutup dada dan pakai rok, sedangkan dia kaos oblong
warna hitam, tambah jeans belel yang berlubang-lubang, rambut gondrong. Dan, IP-ku
Alhamdulillah tidak pernah kurang dari 3.00, sedangkan dia tidak pernah lebih
dari 3.00.
Karena banyaknya perbedaan itulah banyak yang tak mengira kami bersaudara.
“Inne, itu siapamu?” Tanya Farah, teman baikku, saat pertama kali dia
melihatku berbincang dengan Kak Onni.
“Itu saudara kembarku loh..” Jawabku sambil meringis.
“Hah, beneran? Beda bangeet..” Jawaban Farah, yang sudah dapat aku tebak.
Ketika aku memunculkan diri di depan teman-temannya reaksi itu pun muncul.
“Wuih Ni, siapa yang lo bawa? cewek baru?” celoteh teman satu bandnya, ketika
aku diajak mampir ke studio mereka.
“Gila lo, adik gue tuh, eh, kembaran gue.”
“Hah, sumpah lo, Ni? Gilak, kembar apanya? Beda banget gini.. hahaa..”
Aku hanya tersenyum, dan kini pun terbiasa dengan reaksi semacam itu
apabila melihatku bersama Kak Onni.
***
Suatu sore, aku mampir ke studio untuk meminta Kak Onni mengantarkanku ke toko buku. Ya, dari luar sudah terdengar suara musik rock yang
keras.
Ada satu yang aku suka dari Kak Onni, setidaknya dia bisa mencari uang
sendiri sejak SMA. Sedangkan aku belum bisa menghasilkan apa-apa. Ya, melalui
kemampuannya nge-band-nya itulah yang
membuat ia dapat pemasukan. Dan kini band-nya
tidak hanya dikenal di kalangan mahasiswa, namun anak-anak gaul Jakarta pun
sudah tak asing mendengarnya.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam.. Eh, Inne.. Nyari Onni? Bentar, dia lagi sholat di
belakang. Tunggu aja.” Kata Satria, teman satu band Kak Onni yang juga teman SMA-ku.
“Oh, oke. Aku tunggu sini ya. Eh, kok kalian nggak sholat?”
“Hehe.. kita nanti nyusul kok, hehe..”
Dan adalagi yang masih aku suka dari dia. Ia masih ingat sholat lima waktu. Ya, walaupun terkadang
kurang tepat waktu.
“Kenapa, Ne?” Tanya Kak Onni melihat aku duduk di sofa studio.
“Kak, anterin Inne ke toko buku yang di sana yuk, males naik bus.”
“Oh oke, yaudah bentar
ya boy, gue anterin Inne dulu.” Kata Kak Onni pada teman-teman band-nya.
Sebagai kakak, dia pun bertanggung jawab. Dia sering membantuku dalam
banyak hal, mengantarku ketika aku butuh pergi, menjengukku sambil membawakan
banyak makanan saat aku sakit. Bahkan dia berhasil membujuk kawan satu band-nya untuk tidak dibayar saat
manggung di acara yang diadakan oleh himpunan mahasiswa di jurusanku.
***
Akhir – akhir ini Kak Onni agak aneh. Setiap aku sms, tidak pernah dibalas,
aku telpon, di-reject. Aku khawatir
terjadi sesuatu, maksudku aku takut Kak Onni punya masalah sehingga membuatnya demikian.
Padahal aku selalu terbuka mendengar curhatan – curhatan Kak Onni, tapi
sekarang mungkin dia lebih suka diam. Uang yang dia janjikan diganti di awal
bulan pun belum terdengar kabarnya. Terkadang aku tidak memikirkannya, namun
terkadang pula, aku mencemaskannya. Mungkin
dia sibuk dengan band-nya. Pikirku.
“Ne, besok ahad sepedaan yuk!” ajak Farah membuyarkan lamunanku
sore itu.
Aku menyetujui ajakannya, sudah lama pula aku tak berolahraga, rasanya
badan ini kaku-kaku semua. Selain itu aku kira aku pun butuh refreshing, aktivitas kuliah dan
organisasi yang aku ikuti benar-benar menguras tenaga dan pikiranku. Jadi pagi
itu, aku memutuskan bersepeda keliling bersama sahabatku itu. Senang juga
rasanya bisa menikmati udara pinggiran Jakarta yang masih sejuk pagi ini.
“Istirahat dulu deh, Fa. Capek aku, hehe..” usulku untuk istirahat duduk di
tepi jalan sambil minum minuman yang telah kami bawa. Kami duduk di bawah pohon
rindang di tepi jalan. Jalan ini begitu lengang. Tak seperti biasanya yang
cukup ramai dengan berbagai macam kendaraan, baik itu pribadi ataupun kendaraan
umum.
Tiba – tiba kami terkejut mendengar desisan rem. Kulihat, ternyata ada
mobil sedan berwarna hitam metalik berhenti mendadak di seberang jalan.
Entahlah mengapa, sebab aku rasa mobil itu tidak menabrak apapun. Dari pintu
depan samping sebelah kiri mobil itu, keluarlah seorang pemuda, disusul dengan
seorang lagi dari pintu belakang. Mereka membuka pintu depan dimana pengemudi
mobil itu duduk. Lalu mengeluarkan seorang pemuda lagi dari kursi pengemudi
itu. Mereka berdua memapah pemuda itu keluar dari mobil. Tampaknya pemuda yang
menyetir mobil itu sakit. Aku lihat dari cara jalannya yang tidak seimbang dan
harus dipapah oleh kedua temannya, lalu ia pun mmuntah – muntah di selokan tepi jalan tersebut.
“Kayaknya dia mabok deh..” Ucap Farah yang juga memperhatikan pemuda itu.
“Masa sih?” Tanyaku, yang memang tidak tahu ciri – ciri orang mabok.
“Iyalah, pusing, muntah-muntah gitu. Eh, udah yuk, lanjut..” Jawabnya
sembari mengajakku kembali bersepeda.
“Yuk..” Jawabku sambil menaiki sepedaku.
Kami menyeberangi jalan, karena kami berniat balik arah untuk segera pulang
ke kos kami masing-masing. Saat aku bersepeda sambil menyeberang jalan
tersebut, aku kembali memperhatikan para pemuda yang masih berada di tepi
selokan itu dari dekat. Aku merasa heran dengan pemuda yang demikian itu.
Apakah mereka tidak memikirkan keluarga mereka jika orang tua mereka tahu apa
yang anak-anaknya perbuat?
“Hah, Satria!?”Aku benar-benar terkejut, mengerem sepedaku, Farah
kebingungan. Ternyata setelah aku melihat mereka dari dekat, bahwa satu
diantara mereka bertiga adalah Satria, teman satu band Kak Onni. Satria ternyata mendengar apa yang aku ucapkan, dia
menoleh kepalanya ke arahku. Dengan terbata-bata, Satria berkata, “In..
Inne!??”
Mendengar apa yang Satria ucapkan, dua pemuda yang lain menoleh pula
kepadaku. Aku shock. Serasa kepalaku
berat, dan ingin jatuh pingsan. Ada Dean, teman satu band Kak Onni juga, dan yang lebih membuatku lemas adalah pemuda
yang sedang muntah karena mabuk berat adalah..
“Kak Onnii !!! Astaghfirullah kakak..” Ya, Kak Onni, saudara kembarku
sendiri. Wajah Kak Onni pucat, matanya merah, dia tampak lemas sekali, wajahnya
terlihat pasrah, mungkin karena pengaruh alcohol dan karena ketahuan saudara
kembarnya sendiri. Kulirik ke arah mobil yang berhenti itu, kenapa aku baru ngeh kalau itu mobil Kak Onni. Aarghh..
Aku segera mendekati Kak Onni, dan PLAAAK.. aku menamparnya. Baru pernah
aku menampar seseorang, dan orang pertama yang aku tampar ternyata adalah
saudara kembarku sendiri.
“Apa-apaan ini!?? Kakak mabok!?!?” Teriakku tepat di wajah Kak Onni.
“Lo yang apa-apaan??? Lo tau sodara kembar lo lagi sakit gini, malah
ditampar. Sodara macam apa lo ini??” Kata Dean yang mencoba membela Kak Onni,
sahabatnya. Sedangkan kakakku tak bisa berkata apa-apa, diam.
“Sakit karena mabok, kan?? Kakak sendiri yang bikin kakak sakit!! Kalian
juga mabok kan? Mulut kalian bau alkohol tau!!” ucapku menanggapi perkataan
Dean. Aku benar-benar terbawa emosi saat itu.
“Kalian kan yang ngajak dia mabok-mabokan? Kalian kan yang ngajarin? Temen
macam apa kalian ini!!! Kalau kayak gini siapa yang mau tanggung jawab!!”
teriakku kepada Dean dan Satria. “Kakak juga, kenapa mau diajakin? Haah?
Bayangin kak, kalau mama papa tau kelakuan Kak Onni di sini, mereka bakalan
kecewa kak sama kakak! kakak nggak sayang apa sama mereka!! Kakak nggak mikir
apaa??” Aku benar-benar telah dikuasai amarahku. Bagaimanapun dia saudara
kembarku. Saudaraku satu-satunya, tapi mengapa semua jadi seperti ini? Tak
sadar aku meneteskan air mataku.
“Ne..” ucap Kak Onni pelan untuk
menghentikan perkataanku.
“Apaa?? Inne kecewa banget sama kakak!” ucapku dengan mengangkat jari
telunjukku di depan wajah Kak Onni.
“Inne, udah Ne.. Istighfar…” kata Farah
menepuk pundakku. Aku berjalan berbalik menuju sepedaku. Aku tak peduli
dengan Kak Onni dan dua temannya itu. Aku benar-benar marah
saat itu. Sebelum kukayuh
sepedaku, aku mengucapkan kalimat yang sebenarnya tak ingin aku ucapkan, “Kak,
Inne malu punya saudara kembar kayak Kak Onni..” kata ‘malu’ benar-benar aku
tegaskan di perkataanku. Ku lihat Kak Onni kaget mendengarnya, dan hanya
menundukkan kepalanya.
Kukayuh sepeda itu dengan kencang, sengaja aku tinggal Farah di belakang. Aku ingin sendiri. Hingga
tak sadar menetes deras air mata ini. Sesampainya di kos, ku lempar sepeda ini di tembok samping kos-kosanku. Braaak.. Membuat kaget anak – anak yang
sedang bermain lompat tali di depan rumah.
Ku tutup pintu kamarku kencang, lalu ku kancing, untuk mencegah Farah
masuk. Namun
ternyata Farah mengetuk
pintuku dan memanggilku pelan.
“Inne..” katanya.
Aku katakan padanya, “Maaf, Fa, aku sedang ingin sendiri..”
Ku lemparkan tubuhku ke kasur empuk di kamarku. Ku tutup wajahku dengan
bantal, lalu aku menangis sejadi-jadinya. Tak peduli dengan tubuhku yang basah
karena keringat. Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat, apa yang harus aku
lakukan. Marah, kecewa, benci, sedih, malu dan semacamnya bercampur baur di
dadaku. Sesak. Membuatku menangis sesenggukan. Aku tahu seperti ini tak akan
menyelesaikan masalah. Tapi aku benar-benar tak tahu yang sebaiknya aku
lakukan.
Ponselku berbunyi, ku lihat screen ponsel itu, dari Kak Onni. Tanpa pikir panjang, aku menekan tombol
telepon berwarna merah. Mati. Sekitar lima menit kemudian, ponselku kembali
berdering, dari mama. Sempat aku berfikir untuk menceritakan semuanya kepada
beliau. Tapi aku sadar, aku tak ingin membuatnya kecewa. Aku tak ingin
menyakiti perasaannya. Aku tak setega itu pada mamaku. Aku tak mau mendengar
suara mamaku, aku tak tega. Dan aku pun tak bisa berbicara dengan mamaku dalam
keadaan aku terisak menangis seperti ini. Aku biarkan ponsel itu bordering,
sampai akhirnya mati sendiri. Lalu beberapa saat kemudian ada sms masuk. Dari
mama. “Onni, Inne, anak-anak kesayangan mama, kalian lagi ngapain to? Mama
telpon, nggak ada yang ngangkat satupun..”
Ma, maafin Inne ma, maafin Kak
Onni juga.. Dan
Kak Onni, kakak bener – bener tega sama mama, sama papa, sama
Inne. Kakak mengecewakan kita semua, Kak.. Aku hanya bisa membatin.
***
"Ne, gue.. Gue mau minta maaf sama lo, Ne..”
“Buat apa? Inne ngga ngerasa dirugikan kok. Kakak yang ngerugiin diri kakak
sendiri. Asal kakak tau, Inne paling benci sama cowok yang suka buang-buang
duit buat kayak gituan, Inne paling nggak suka sama cowok yang sukanya mabok!!
Dan sekarang cowok yang sukanya mabok itu ternyata saudara kembar Inne sendiri!
Mau ditaruh mana muka Inne?? Bukan berarti Inne nglarang kakak ngrokok, nglarang
kakak pacaran, lalu kakak pikir Inne ngizinin kakak mabuk-mabukan, engga kak! Inne
bener-bener malu, Kak.. Inne kecewa banget sama Kakak!”
“Ne, gue tau lo kecewa banget sama gue, lo benci sama gue, bahkan lo malu
jadi saudara kembar gue.. Please Ne, maafin gue.. Ini kali pertamanya gue
minum, Ne. Sumpah, Demi Allah, Ne, ini pertama buat gue. Gue lagi stress waktu
itu, banyak pikiran, makanya gue terima ajakan Satria sama Dean buat minum. Gue
mungkin emang sering ke café-café buat manggung, tapi yang namanya nyicipin
minuman keras kayak gitu baru kemarin, Ne.. Sumpah Ne, gue khilaf, gue nyesel..
Percaya Ne, sama yang gue omongin.”
Aku cuek. Diam. Seakan tak mendengarkan apa yang Kak Onni katakan.
“Ne, sekali lagi maafin gue, Ne.. Dan, please banget Ne, jangan ceritakan
ini semua ke mama papa. Lo belum bilang ke mama papa kan, Ne?” Diam. “Jawab
Ne..”
Aku meneteskan air mataku yang sudah terbendung. Aku usap air mataku
sebelum Kak Onni melihatnya. Lalu aku menggelengkan kepalaku.
“Bagus.. Makasih banyak lo udah ngertiin gue, Ne.. Sekali lagi maaf, Ne…
Gue bener-bener nyesel. Terserah lo mau maafin gue apa engga. Gue balik dulu.”
Kak Onni masuk ke dalam mobilnya. Aku masuk ke dalam rumah kos ku, ku
banting pintu dengan keras. Sebenarnya kau mau memaafkannya, namun entah
kenapa, masih ada yang mengganjal di dadaku. Masih ada serpihan rasa kecewaku
padanya. Astaghfirullahal ‘adzhim..
Allahu Akbar.. Allahu Akbar..
Adzan Ashar itu jelas terdengar olehku. Segera ku berjalan ke arah tempat
wudhu. Ku ambil air wudhu yang sejuk dan menyejukkan kulitku. Kupakai mukena
putih pemberian mama, kugelar sajadah cokelat di lantai kamarku. Sholat. Di tengah-tengah
sholat, aku masih saja meneteskan air mata.
“Allah, ampuni aku, ampuni kakakku.. Bukalah pintu hati kami ya Allah..”
pintaku kepada Allah Sang Maha Kuasa setelah sholat yang menenteramkan.
Tut tuuut..
Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Dean. Ada apa dia meneleponku? Tumben.
Pikirku. Aku tekan tombol telepon berwarna hijau. Terdengar suara bising
dibalik telepon.
“Halo.. Assalamualaikum..” ucapku.
“Waalaikumsalam.. Ne, lo harus ke sini sekarang juga..” kata Dean
tersengal-sengal.
“Hah,
kemana??” jawabku.
---
Kulihat pemuda terbaring lemah di ruangan kecil ini. Di dahinya terbalut
kasa putih, ada noda obat merah yang cukup lebar di dahi bagian kanannya,
menandakan ada luka cukup parah di situ. Pemuda itu adalah pemuda yang
sebenarnya sangat aku cintai, sangat aku sayangi, hanya aku tak pernah ucapkan dalam
kata-kata, Kak Onni.
Dia mengalami kecelakaan di jalan dari kosku sore tadi. Kabarnya dia hendak
menghindari lubang besar di tikungan, lalu banting setir ke kanan dan akhirnya
menabrak pohon besar di tepi jalan tersebut. Kaca mobil pecah mengenai Kak Onni
yang pada waktu itu lupa mengenakan sabuk pengaman. Untung saat itu jalanan
sepi sehingga tak ada korban jiwa lainnya. Jalan menuju kos Kak Onni memang
sedikit menyeramkan, jelek dan menikung-nikung. Entah mengapa dia memilih
lokasi yang demikian. Aku rasa Kak Onni sedang tidak berkonsentrasi. Harusnya
dia sudah paham jalanan menuju kosnya yang setiap hari ia lewati. Mungkin ia
masih memikirkan masalah itu.
Ku genggam tangannya yang dingin. Matanya masih terpejam.
“Kak.. Kakak udah Inne maafin kok.. Maafin Inne juga yaa..” ucapku, saat
itu mataku berkaca-kaca. “Inne percaya kok sama kakak. Inne yakin, kakak masih
orang baik, hehe.. Inne cuma takut kakak jatuh jauh lebih dalam. Inne khawatir
kakak jadi pemuda yang jauh dari Allah.. Inne ngga mau kak.. Inne sayang sama
kakak, sayang Inne buat siapa lagi kalau engga buat mama, papa, kakak.. Kakak
ngga boleh kayak gini lagi yaa.. Kasiha mama, papa.. Kakak harus cepet sembuh, kalau kakak sakit, Inne, mama,
papa semua sedih kak...” Kali ini aku benar-benar terisak – isak menangis.
“Kak, Inne mungkin pernah bilang ke kakak, kalau Inne malu punya kakak
kayak Kak Onni, Inne benci sama Kak Onni. Enggak kak, sebenarnya Inne-lah yang
benci pada diri sendiri. Inne yang malu pada diri sendiri. Inne selama ini
berdakwah, Inne menyampaikan islam, nasihat-nasihat pada temen-temen, pada
adik-adik binaan mentoring Inne, tapi Inne lupa nggak berdakwah ke kakak. Inne
malu pada diri sendiri kak.. Inne berdakwah kepada dunia luar, tapi keluarga
Inne sendiri luput dari obyek dakwah Inne.. Inne malu kak, Inne benci sama Inne
sendiri.. Maafin Inne kak..” Air mataku benar-benar tak terbendung lagi. Apa
yang aku ucapkan benar-benar dari hatiku. Aku menyesal, aku malu, aku benci
pada diriku sendiri. Aku sok-sokan koar-koar di luar, tapi di keluargaku pun
masih membutuhkan dakwah ku. Aku sedih, aku malu. Aku menangis.
Allah, ampuni aku ya Allah.. ucapku dalam hati.
“Ne..” Terdengar suara lemah dari mulut Kak Onni.
“Kakak?? Kakak udah bangun?” Tanyaku terkejut.
“Iya, udah kamu nggak usah berpikiran gitu.”
“Maksud kakak?” Aku heran, mengapa Kak Onni bisa berkata demikian.
“Kakak dengar semua yang kamu bilang kok.. Maafin kakak ya.. Insyaallah
kakak mau tobat, hehe.. Kakak mau jadi kakak yang baik buat kamu. Anak yang
baik buat mama papa.” Dia mencoba tersenyum, namun aku bisa liat matanya berkaca-kaca.
“Kok kakak bisa denger?” tanyaku heran.
“Kakak kan tadi cuma pura-pura tidur tadi.. Hahaa..”
“Ihhh, kakak apaan sih.. Hehe..”
Allah memang Maha Pembuat Skenario terbaik. Allah punya rencana dibalik
semua kejadian. Rangkaian kejadian ini aku anggap sebagai peringatan buat aku
dan Kak Onni. Dan Alhamdulillah, kini kami mulai terbuka. Kak
Onny memang masih setia di
band-nya, tapi Kak Onni konsisten untuk tidak mau pacaran, merokok, apalagi
mabuk. Aku bangga padanya. Aku pun makin semangat untuk mengingatkan dia sholat
tepat waktu, puasa sunnah, atau datang ke kajian-kajian yang ada di Masjid
Kampus. Alhamdulillah dia menyempatkan untuk datang apabila tidak ada jadwal
kuliah atau jadwal manggung. Bahkan suatu saat aku melihat dia datang bersama
Satria,
Dean atau teman satu band-nya yang lain.
Ya, Allah selalu punya rencana dan kejutan di balik setiap peristiwa. Thanks Allah..
Semarang, Februari 2012
inspired from someone and someincident in a morning