Minggu, 28 Agustus 2011

Pelajaran dari Sebuah Kunjungan

Diposting oleh nuratnamukti di 09.26

Hari Jumat siang yang mendung di Banjarnegara ini, akhirnya satu target liburanku tercapai. Aku menginginkan liburan semester ini, aku bisa mengencangkan ikatan tali silaturahim kepada seseorang yang membuat aku jadi seperti  ini saat ini, orang yang membuat aku belajar, berfikir maju, yang membuat bacaan Al-Quranku lebih baik dan lancar, dan yang pasti dan utama lebih dekat dengan Maha Pencipta, Allah Subhanahu wa ta’ala, Sang Murabbi.
“Assalamualaikum, Rahma, km udh brkt blm?” tanyaku pada Rahma sahabatku semasa SMA. Dia menemaniku mengkaji dan mengaji islam dalam suatu lingkaran kecil, liqo, dengan namanya yang mungil, Salsabila. Jargon kami teman-teman satu liqoan adalah Salsabila.. Tetap semangat! Hehe.. Imut dan polos sekali yah. Maklum, kita berkumpul dalam satu majelis ini saat kami masih duduk di bangku kelas X. Dan sekarang, sebagian dari kami, sudah ada yang berkepala dua. Kami sudah kuliah. Namun, kedewasaan kami (aku lebih khususnya) patut dipertanyakan. Sampai sekarang masih manja seperti anak kecil. Tak ada orang tua, aku manja pada murabbi, pada kakak angkatan di kampus atau di wisma –begitu kami menyebut kos-kosan kami-
Ya, memang kami sekarang terpisah. Jadwal liburannya pun tak sama. Hingga aku hanya bisa mengajak Rahma untuk bersilaturahim ke murabbi kami.
“Waalaikumsalam. Belum nung. Bentar ya, ni aku blm solat, nunggu pada jumatan dulu.” Kami janjian di tempat pemberhentian angkot untuk menuju rumah murabbiku tersebut. Maklum, kami berdua –walaupun sudah bisa mengendarai motor- belum terlalu berani turun ke jalan yang ramai dan jauh. Apalagi fasilitas motornya juga belum tersedia, hehe.
“Oh, yaudah, kalo udh brkt, kabari yyaak..”
Sekitar lima belas menit aku menunggu di alun-alun, lebih baik menunggu di sini dulu sampai Rahma datang daripada menunggu di tempat pemberhentian angkot yang panas dan banyak berpolusi asap rokok. Waktu itu aku habiskan berbincang dengan salah seorang temanku yang memang sedari pagi bersamaku karena ada agenda bersama. Kami ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon –tapi yang pasti kami nggak ngomongin orang kok, hehe- dari masalah kampus sampai nostalgia masa SMA, dengan ditemani satu bungkus es kelapa muda seharga 2000 rupiah (kenapa harus mencantumkan harganya segala yak? Hehe..)
Tepat seruputan es milikku habis, handphone Nokia E63-ku berbunyi.
“Nung, aku udh smpe di gayam (tempat pemberhentian angkot yang tadi saya bicarakan)”
“Oh, ok, ak lagi jalan kesana. Tunggu.”
Lalu kulihat akhwat berjilbab hitam, baju biru, rok hitam, dengan tas slempang kecil digantungkan di bahunya.
“Rahmaaa…”
Hmm.. saking kangennya satu semester tak bersua, aku langsung heboh memanggilnya. Aku benar – benar senang bisa bertemu teman seperjuanganku sekarang, dan aku yakin dia pun demikian (pede sekali aku…)
Kami banyak ngobrol, ehm, maksud saya berdiskusi tentang kampus kami. Aku di Universitas Diponegoro Semarang tercinta, dan Rahma di Universitas Negeri Yogyakarta. Asyik sekali sampai tak terasa kami sudah sampai di depan rumah murabbi kami yang sederhana.
Bisa kubilang sederhana, karena tampak mungil dari depan, biar lebih enak didengar, daripada ku tulis kecil. Dindingnya masih kasar, belum dihaluskan dengan semen, apalagi dicat. Pintunya dari kayu yang sepertinya kokoh, tanpa cat pula, sehingga menunjukkan warna asli kayu tersebut. Namun di depannya banyak tanaman – tanaman baik dalam pot, maupun langsung di tanah. Kebetulan ada tanaman bunga sepatu yang sedang berbunga, Bunganya merah  muda, cantik sekali. Oya, sebelumnya aku belum pernah berkunjung ke rumah ini.
“Assalamualaikum..” kami kompak.
“Waalaikumussalam warohmatullah..” Sosok itu muncul juga, murabbiku. Dengan gamis warna cream paduan kotak -  kotak biru. Dipadupadankan dengan jilbab instan warna hitam, dengan renda kecil di bagian bawahnya. Wajah yang kami rindukan, wajah yang putih bersih cerah dan bercahaya.
Sesaat di baliknya muncul anak laki-laki kecil berusia 3 tahunan. Muflih, ya aku ingat namanya Muflih, putra pertama beliau. Dan sekarang beliau juga diamanahi putra kedua, Khodija Taqiya ‘Abidah. Masih sangat kecil, berusia 4 bulan.
“Apa kabar ukhti, para mujahidah..” hmm.. sapaan yang indah sekali untukku..
“Alhamdulillah Mbak.. Mbak gimana?”
“Alhamdulillah kami semua sehat. Ayo duduk dulu..”
Setelah itu kita lebih memilih bermain-main dengan Muflih. Sementara beliau di belakang. Mungkin sedang mempersiapkan jamuan untuk kami (hah, pede sekali..). Karena tak enak, kami memutuskan menyusul murabbiku itu. Barangkali ada yang bisa kami bantu. Aku masuk ke dalam sambil melihat – lihat rumah ini. Hmm.. Memang sederhana. Ada 3 kamar kulihat, dan dua kamar mandi. Dinding keseluruhannya masih kasar. Sama sekali belum dicat. Selain itu, masih beralaskan tanah. Kecuali untuk kamar-kamarnya yang sudah ditempeli keramik warna putih dan sudah dicat putih. Aku melangkah ke dapur, ternyata beliau masih menyiapkan teh hangat untuk kami.
“Nggak usah repot-repot mbak..” Ucap Rahma. Aku masih melihat-lihat seisi ruangan. Walaupun belum sempurna rumah ini, namun bersih. Kutengok ke meja makan, terlihat nasi di cething, sepiring tempe dan tahu goreng, serta pisang. Sudah.
“Nggak papa. Udah yuk, ke depan aja..” Sudah selesai beliau menyiapkan semuanya ketika beliau mengucapkan kata-kata tersebut. AKhirnya kami kembali ke depan. Hmm.. Tampak Muflih sedang bermain sesuatu, aku tak tahu apa itu.
Aku duduk di kursi triplek, yang sama sekali tidak empuk. Di depan kami terdapat meja kayu, yang kini telah berisi dua gelas the hangat dan dua toples makanan ringan. Yang satu berisi keripik pisang, satunya biscuit.
Aku masih tertarik untuk melihat rumah ini. Rumah ini memang kecil dansederhana, namun bersih, sejuk, dan nyaman. Tak kulihat perabotan mewah di dalam rumah ini. Bahkan seperti yang sudah kuceritakan, kursi tamu pun terbuat dari triplek. Tempat tidur pun masih dari kapuk. Oh ya, aku baru sadar, tak ada televisi di rumah ini! Apalagi DVD player, play station, AC, tak ada. Namun kulihat laptop di kamar beliau saat aku masuk ke kamar untuk solat.
Hmm.. memang sederhana. Bukan. Bukan mereka tak mampu untuk membeli itu semua. Namun, mereka memilih mana yang lebih mereka butuhkan.
Ohya, belum kujelaskan pekerjaan mereka (Murabbiku dan suaminya). Murabbiku adalah seorang guru yang sudah berstatus PNS di sebuah SMP Negeri. Suaminya adalah Kepala Sekolah sebuah SD Islam swasta yang terkenal kualitasnya, bisa dibilang nomor satu di kotaku. Dan perlu diketahui untuk memasuki SD tersebut lumayan susah, karena banyak saingannya dan yang pasti untuk seukuran SD, termasuk mahal.
Subhanallah.. Apabila semua pemimpin di Indonesia, bahkan di muka bumi ini seperti mereka, yang hidup sederhana sesuai kebutuhan, alangkah indahnya dunia ini. Apalagi untuk melakukan korupsi, membeli hal – hal yang memang tidak perlu untuk dibeli pun tidak !
Subhanallah..

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 28 Agustus 2011

Pelajaran dari Sebuah Kunjungan

Diposting oleh nuratnamukti di 09.26

Hari Jumat siang yang mendung di Banjarnegara ini, akhirnya satu target liburanku tercapai. Aku menginginkan liburan semester ini, aku bisa mengencangkan ikatan tali silaturahim kepada seseorang yang membuat aku jadi seperti  ini saat ini, orang yang membuat aku belajar, berfikir maju, yang membuat bacaan Al-Quranku lebih baik dan lancar, dan yang pasti dan utama lebih dekat dengan Maha Pencipta, Allah Subhanahu wa ta’ala, Sang Murabbi.
“Assalamualaikum, Rahma, km udh brkt blm?” tanyaku pada Rahma sahabatku semasa SMA. Dia menemaniku mengkaji dan mengaji islam dalam suatu lingkaran kecil, liqo, dengan namanya yang mungil, Salsabila. Jargon kami teman-teman satu liqoan adalah Salsabila.. Tetap semangat! Hehe.. Imut dan polos sekali yah. Maklum, kita berkumpul dalam satu majelis ini saat kami masih duduk di bangku kelas X. Dan sekarang, sebagian dari kami, sudah ada yang berkepala dua. Kami sudah kuliah. Namun, kedewasaan kami (aku lebih khususnya) patut dipertanyakan. Sampai sekarang masih manja seperti anak kecil. Tak ada orang tua, aku manja pada murabbi, pada kakak angkatan di kampus atau di wisma –begitu kami menyebut kos-kosan kami-
Ya, memang kami sekarang terpisah. Jadwal liburannya pun tak sama. Hingga aku hanya bisa mengajak Rahma untuk bersilaturahim ke murabbi kami.
“Waalaikumsalam. Belum nung. Bentar ya, ni aku blm solat, nunggu pada jumatan dulu.” Kami janjian di tempat pemberhentian angkot untuk menuju rumah murabbiku tersebut. Maklum, kami berdua –walaupun sudah bisa mengendarai motor- belum terlalu berani turun ke jalan yang ramai dan jauh. Apalagi fasilitas motornya juga belum tersedia, hehe.
“Oh, yaudah, kalo udh brkt, kabari yyaak..”
Sekitar lima belas menit aku menunggu di alun-alun, lebih baik menunggu di sini dulu sampai Rahma datang daripada menunggu di tempat pemberhentian angkot yang panas dan banyak berpolusi asap rokok. Waktu itu aku habiskan berbincang dengan salah seorang temanku yang memang sedari pagi bersamaku karena ada agenda bersama. Kami ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon –tapi yang pasti kami nggak ngomongin orang kok, hehe- dari masalah kampus sampai nostalgia masa SMA, dengan ditemani satu bungkus es kelapa muda seharga 2000 rupiah (kenapa harus mencantumkan harganya segala yak? Hehe..)
Tepat seruputan es milikku habis, handphone Nokia E63-ku berbunyi.
“Nung, aku udh smpe di gayam (tempat pemberhentian angkot yang tadi saya bicarakan)”
“Oh, ok, ak lagi jalan kesana. Tunggu.”
Lalu kulihat akhwat berjilbab hitam, baju biru, rok hitam, dengan tas slempang kecil digantungkan di bahunya.
“Rahmaaa…”
Hmm.. saking kangennya satu semester tak bersua, aku langsung heboh memanggilnya. Aku benar – benar senang bisa bertemu teman seperjuanganku sekarang, dan aku yakin dia pun demikian (pede sekali aku…)
Kami banyak ngobrol, ehm, maksud saya berdiskusi tentang kampus kami. Aku di Universitas Diponegoro Semarang tercinta, dan Rahma di Universitas Negeri Yogyakarta. Asyik sekali sampai tak terasa kami sudah sampai di depan rumah murabbi kami yang sederhana.
Bisa kubilang sederhana, karena tampak mungil dari depan, biar lebih enak didengar, daripada ku tulis kecil. Dindingnya masih kasar, belum dihaluskan dengan semen, apalagi dicat. Pintunya dari kayu yang sepertinya kokoh, tanpa cat pula, sehingga menunjukkan warna asli kayu tersebut. Namun di depannya banyak tanaman – tanaman baik dalam pot, maupun langsung di tanah. Kebetulan ada tanaman bunga sepatu yang sedang berbunga, Bunganya merah  muda, cantik sekali. Oya, sebelumnya aku belum pernah berkunjung ke rumah ini.
“Assalamualaikum..” kami kompak.
“Waalaikumussalam warohmatullah..” Sosok itu muncul juga, murabbiku. Dengan gamis warna cream paduan kotak -  kotak biru. Dipadupadankan dengan jilbab instan warna hitam, dengan renda kecil di bagian bawahnya. Wajah yang kami rindukan, wajah yang putih bersih cerah dan bercahaya.
Sesaat di baliknya muncul anak laki-laki kecil berusia 3 tahunan. Muflih, ya aku ingat namanya Muflih, putra pertama beliau. Dan sekarang beliau juga diamanahi putra kedua, Khodija Taqiya ‘Abidah. Masih sangat kecil, berusia 4 bulan.
“Apa kabar ukhti, para mujahidah..” hmm.. sapaan yang indah sekali untukku..
“Alhamdulillah Mbak.. Mbak gimana?”
“Alhamdulillah kami semua sehat. Ayo duduk dulu..”
Setelah itu kita lebih memilih bermain-main dengan Muflih. Sementara beliau di belakang. Mungkin sedang mempersiapkan jamuan untuk kami (hah, pede sekali..). Karena tak enak, kami memutuskan menyusul murabbiku itu. Barangkali ada yang bisa kami bantu. Aku masuk ke dalam sambil melihat – lihat rumah ini. Hmm.. Memang sederhana. Ada 3 kamar kulihat, dan dua kamar mandi. Dinding keseluruhannya masih kasar. Sama sekali belum dicat. Selain itu, masih beralaskan tanah. Kecuali untuk kamar-kamarnya yang sudah ditempeli keramik warna putih dan sudah dicat putih. Aku melangkah ke dapur, ternyata beliau masih menyiapkan teh hangat untuk kami.
“Nggak usah repot-repot mbak..” Ucap Rahma. Aku masih melihat-lihat seisi ruangan. Walaupun belum sempurna rumah ini, namun bersih. Kutengok ke meja makan, terlihat nasi di cething, sepiring tempe dan tahu goreng, serta pisang. Sudah.
“Nggak papa. Udah yuk, ke depan aja..” Sudah selesai beliau menyiapkan semuanya ketika beliau mengucapkan kata-kata tersebut. AKhirnya kami kembali ke depan. Hmm.. Tampak Muflih sedang bermain sesuatu, aku tak tahu apa itu.
Aku duduk di kursi triplek, yang sama sekali tidak empuk. Di depan kami terdapat meja kayu, yang kini telah berisi dua gelas the hangat dan dua toples makanan ringan. Yang satu berisi keripik pisang, satunya biscuit.
Aku masih tertarik untuk melihat rumah ini. Rumah ini memang kecil dansederhana, namun bersih, sejuk, dan nyaman. Tak kulihat perabotan mewah di dalam rumah ini. Bahkan seperti yang sudah kuceritakan, kursi tamu pun terbuat dari triplek. Tempat tidur pun masih dari kapuk. Oh ya, aku baru sadar, tak ada televisi di rumah ini! Apalagi DVD player, play station, AC, tak ada. Namun kulihat laptop di kamar beliau saat aku masuk ke kamar untuk solat.
Hmm.. memang sederhana. Bukan. Bukan mereka tak mampu untuk membeli itu semua. Namun, mereka memilih mana yang lebih mereka butuhkan.
Ohya, belum kujelaskan pekerjaan mereka (Murabbiku dan suaminya). Murabbiku adalah seorang guru yang sudah berstatus PNS di sebuah SMP Negeri. Suaminya adalah Kepala Sekolah sebuah SD Islam swasta yang terkenal kualitasnya, bisa dibilang nomor satu di kotaku. Dan perlu diketahui untuk memasuki SD tersebut lumayan susah, karena banyak saingannya dan yang pasti untuk seukuran SD, termasuk mahal.
Subhanallah.. Apabila semua pemimpin di Indonesia, bahkan di muka bumi ini seperti mereka, yang hidup sederhana sesuai kebutuhan, alangkah indahnya dunia ini. Apalagi untuk melakukan korupsi, membeli hal – hal yang memang tidak perlu untuk dibeli pun tidak !
Subhanallah..

0 komentar on "Pelajaran dari Sebuah Kunjungan"

Posting Komentar

 

live and life Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea