Minggu, 21 Agustus 2011

Muhasabah di Tepi Jalan

Diposting oleh nuratnamukti di 16.24
Di saat aku berada dalam kejenuhan di kota rantauan, sekaligus kota harapan, Semarang. Di saat keinginan pulang ke kampung halaman (bukan kampung juga si sebenernya) memuncak hingga mencapai titik kulminasi tertinggi, ada suatu hal yang mungkin tak dapat menghapus rasa rindu pada rumah, namun setidaknya aku bisa melupakannya sejenak. Dan yang pasti, dapat diambil suatu sisi positif yang menambah rasa syukurku pada Allah SWT.

6 Agustus 2011 - 6 Ramadhan 1432 H. Sore itu aku mengikuti agenda organisasi yang aku ikuti yaitu buka bersama anak-anak jalanan Satu Atap di Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang. Sebenarnya aku malas mengikutinya, karena hari itu, sejak pagi aku sudah kehilangan semangatku. Dari pagi setelah sahur, sakit maag-ku kambuh lagi dan badanku sedikit panas. Hmm, mungkin ini salah satu faktor yang membuatku benar-benar ingin berkumpul bersama keluarga di rumahku yang mungil namun penuh kebahagiaan, hehe.. Namun, 'yang punya hajat' mengajakku sampai aku benar-benar tak kuasa menolaknya. Okelah, akhirnya aku ikut. 

Buka bersama bersama anak jalanan. Ya, itu agenda kami sore itu. Selama ini banyak agenda buka puasa bersama yang aku ikuti. Mulai dari buka puasa angkatan, buka puasa bersama teman-teman satu perjuangan, dan buka puasa organisasi yang aku ikuti. oh iya, jangan lupa buka puasa rame-rame di Masjid Kampus atau berburu takjil gratis, hehe.. Namun, selama Ramadhan ini, belum pernah sekalipun buka puasa bersama keluargaku di rumah.. miris ya. tapi ya sudahlah, amanah ini memang harus dilakoni. nyatanya di Semarang aku mash dibutuhkan, (semoga saja begitu).

Ok, lanjut ke acara buka bersama anak jalanan. Seperti kita ketahui yah, rasanya males banget kalo di jalan kita diganggu anak – anak jalanan. Yang mengemis lah, yang ngamen dengan suara seadanya lah. Benar – benar tidak enak dilihat. Sebuah negara yang luas, kaya akan sumber daya alam, namun masyarakatnya tak terpenuhi kebutuhannya, masyarakatnya benar-benar dekat sekali dengan kemiskinan. Kita mempunyai berhektar – hektar sawah dan kebun, namun rakyatnya kelaparan. Kita mempunyai banyak manusia – manusia, yang eharusnya bisa jadi asset bangsa, namun apa yang kita lihat, manusia itu justru berebut kehidupan dengan yang lain. Tidak berketerampilan, tidak berpendidikan, tidak berperilaku yang baik, dan yang miris lagi tidak menanamkan agama dalam dirinya. Dan salah satu output akan berbagai masalah kompleks kita tersebut adalah maraknya anak – anak jalanan. Anak – anak yang hidup di jalan, bekerja di jalan, makan dari jalan, bahkan kadang bertempat tinggal di jalan. Jalan adalah kehidupannya. Mereka bangun pagi untuk mencari recehan hasil belas kasihan pengguna jalan. Sampai siang, sore, malam baru pulang. Mereka yang tak punya tempat tinggal, tidur beralaskan tanah, beratapkan langit, ditemani nyamuk – nyamuk dan dinginnya angin malam. Berbeda dengan anak – anak lain di seberang sana. Mereka bangun pagi untuk sekolah, pulang lalu bermain, ceria, tertawa, sorenya mereka mempunyai agenda les masing – masing, dan malamnya tidur dengan nyenyak di kasur empuk dan hangatnya selimut.

Dan kali ini, aku bersama mereka. Mereka yang hidup di jalanan itu. Mereka yang lusuh, kumal, dengan kulit gosong karena matahari, kaki yang tidak beralas, rambut tak kena sisir, dan kadang hidung yang ingusan. Namun ada satu yang membuat mereka istimewa. Keceriaan mereka, tawa mereka, senyum mereka. Polos. Unik. Dan ikhlas, sangat ikhlas dan apa adanya.

“Kak, gendong..” sahut anak perempuan kecil di belakangku.
Oh, tidak, aku yang selama ini tak punya adik, menjadi paling kecil dalam keluarga, yang biasa dimanja.. Sekarang, anak ini meminta gendong kepadaku. Tapi tak kuasa aku menolaknya. Peancaran matanya membuatku iba. Aku gendong dia. Lumayan berat, ya karena dia berusia lima tahun. Namun aku menikmatinya. Dia begitu dekat denganku, tak mau lepas dari gendonganku, bercerita banyak kepadaku. Namanya Rani. Usia lima tahun. Alhamdulillah, dia masih diberi kesempatan mengenyam pendidikan. Di duduk di TK nol besar. Dia pamerkan bahwa dia bisa menyanyi dengan menyanyi, masih digendonganku. Aku berpikir, dia begitu senang, dekat, padahal kami baru bertemu. Aku melihat, anak – anak ini memang kurang diperhatikan, kurang kasih sayang.

Aku senang berkenalan dengan mereka, dengan mereka yang menyebalkan di jalan. Yang mengemis – ngemis dengan kadang memaksa. Yang mengamen dengan suara sumbangnya. Bukan. Bukan keinginan mereka untuk mempunyai kehidupan seperti itu. Bukan pilihan mereka. Karena mereka tak punya pilihan lagi.

Berkaca dari mereka. Tubuhku lengkap tanpa kekurangan suatu apapun. Keluargaku pun lengkap dan sayang kepadaku. Dan Alhamdulillah, aku selalu diberi kemudahan dalam menggapai cita – citaku. Dan kini, bersyukur bisa menjadi seorang mahasiswa di Universitas Diponegoro, salah satu PTN yang kursinya diperebutkan orang se-Indonesia. Dan bersyukur karena hingga kini, aku tak perlu payah mencari uang untuk makanku. Bersyukur karena semua fasilitas itu kumiliki. Bersyukur karena aku bisa di sini. Bersyukur karena kau bisa berbagi. Bersykur karena aku dipertemukan dengan mereka. Bersyukur karena aku bisa berada dalam momen yang bisa membuat aku bersyukur.

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 21 Agustus 2011

Muhasabah di Tepi Jalan

Diposting oleh nuratnamukti di 16.24
Di saat aku berada dalam kejenuhan di kota rantauan, sekaligus kota harapan, Semarang. Di saat keinginan pulang ke kampung halaman (bukan kampung juga si sebenernya) memuncak hingga mencapai titik kulminasi tertinggi, ada suatu hal yang mungkin tak dapat menghapus rasa rindu pada rumah, namun setidaknya aku bisa melupakannya sejenak. Dan yang pasti, dapat diambil suatu sisi positif yang menambah rasa syukurku pada Allah SWT.

6 Agustus 2011 - 6 Ramadhan 1432 H. Sore itu aku mengikuti agenda organisasi yang aku ikuti yaitu buka bersama anak-anak jalanan Satu Atap di Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang. Sebenarnya aku malas mengikutinya, karena hari itu, sejak pagi aku sudah kehilangan semangatku. Dari pagi setelah sahur, sakit maag-ku kambuh lagi dan badanku sedikit panas. Hmm, mungkin ini salah satu faktor yang membuatku benar-benar ingin berkumpul bersama keluarga di rumahku yang mungil namun penuh kebahagiaan, hehe.. Namun, 'yang punya hajat' mengajakku sampai aku benar-benar tak kuasa menolaknya. Okelah, akhirnya aku ikut. 

Buka bersama bersama anak jalanan. Ya, itu agenda kami sore itu. Selama ini banyak agenda buka puasa bersama yang aku ikuti. Mulai dari buka puasa angkatan, buka puasa bersama teman-teman satu perjuangan, dan buka puasa organisasi yang aku ikuti. oh iya, jangan lupa buka puasa rame-rame di Masjid Kampus atau berburu takjil gratis, hehe.. Namun, selama Ramadhan ini, belum pernah sekalipun buka puasa bersama keluargaku di rumah.. miris ya. tapi ya sudahlah, amanah ini memang harus dilakoni. nyatanya di Semarang aku mash dibutuhkan, (semoga saja begitu).

Ok, lanjut ke acara buka bersama anak jalanan. Seperti kita ketahui yah, rasanya males banget kalo di jalan kita diganggu anak – anak jalanan. Yang mengemis lah, yang ngamen dengan suara seadanya lah. Benar – benar tidak enak dilihat. Sebuah negara yang luas, kaya akan sumber daya alam, namun masyarakatnya tak terpenuhi kebutuhannya, masyarakatnya benar-benar dekat sekali dengan kemiskinan. Kita mempunyai berhektar – hektar sawah dan kebun, namun rakyatnya kelaparan. Kita mempunyai banyak manusia – manusia, yang eharusnya bisa jadi asset bangsa, namun apa yang kita lihat, manusia itu justru berebut kehidupan dengan yang lain. Tidak berketerampilan, tidak berpendidikan, tidak berperilaku yang baik, dan yang miris lagi tidak menanamkan agama dalam dirinya. Dan salah satu output akan berbagai masalah kompleks kita tersebut adalah maraknya anak – anak jalanan. Anak – anak yang hidup di jalan, bekerja di jalan, makan dari jalan, bahkan kadang bertempat tinggal di jalan. Jalan adalah kehidupannya. Mereka bangun pagi untuk mencari recehan hasil belas kasihan pengguna jalan. Sampai siang, sore, malam baru pulang. Mereka yang tak punya tempat tinggal, tidur beralaskan tanah, beratapkan langit, ditemani nyamuk – nyamuk dan dinginnya angin malam. Berbeda dengan anak – anak lain di seberang sana. Mereka bangun pagi untuk sekolah, pulang lalu bermain, ceria, tertawa, sorenya mereka mempunyai agenda les masing – masing, dan malamnya tidur dengan nyenyak di kasur empuk dan hangatnya selimut.

Dan kali ini, aku bersama mereka. Mereka yang hidup di jalanan itu. Mereka yang lusuh, kumal, dengan kulit gosong karena matahari, kaki yang tidak beralas, rambut tak kena sisir, dan kadang hidung yang ingusan. Namun ada satu yang membuat mereka istimewa. Keceriaan mereka, tawa mereka, senyum mereka. Polos. Unik. Dan ikhlas, sangat ikhlas dan apa adanya.

“Kak, gendong..” sahut anak perempuan kecil di belakangku.
Oh, tidak, aku yang selama ini tak punya adik, menjadi paling kecil dalam keluarga, yang biasa dimanja.. Sekarang, anak ini meminta gendong kepadaku. Tapi tak kuasa aku menolaknya. Peancaran matanya membuatku iba. Aku gendong dia. Lumayan berat, ya karena dia berusia lima tahun. Namun aku menikmatinya. Dia begitu dekat denganku, tak mau lepas dari gendonganku, bercerita banyak kepadaku. Namanya Rani. Usia lima tahun. Alhamdulillah, dia masih diberi kesempatan mengenyam pendidikan. Di duduk di TK nol besar. Dia pamerkan bahwa dia bisa menyanyi dengan menyanyi, masih digendonganku. Aku berpikir, dia begitu senang, dekat, padahal kami baru bertemu. Aku melihat, anak – anak ini memang kurang diperhatikan, kurang kasih sayang.

Aku senang berkenalan dengan mereka, dengan mereka yang menyebalkan di jalan. Yang mengemis – ngemis dengan kadang memaksa. Yang mengamen dengan suara sumbangnya. Bukan. Bukan keinginan mereka untuk mempunyai kehidupan seperti itu. Bukan pilihan mereka. Karena mereka tak punya pilihan lagi.

Berkaca dari mereka. Tubuhku lengkap tanpa kekurangan suatu apapun. Keluargaku pun lengkap dan sayang kepadaku. Dan Alhamdulillah, aku selalu diberi kemudahan dalam menggapai cita – citaku. Dan kini, bersyukur bisa menjadi seorang mahasiswa di Universitas Diponegoro, salah satu PTN yang kursinya diperebutkan orang se-Indonesia. Dan bersyukur karena hingga kini, aku tak perlu payah mencari uang untuk makanku. Bersyukur karena semua fasilitas itu kumiliki. Bersyukur karena aku bisa di sini. Bersyukur karena kau bisa berbagi. Bersykur karena aku dipertemukan dengan mereka. Bersyukur karena aku bisa berada dalam momen yang bisa membuat aku bersyukur.

0 komentar on "Muhasabah di Tepi Jalan"

Posting Komentar

 

live and life Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea